Sampai
hari ini pun aku masih belum mengerti seperti apa lengkung otak dalam kepalamu.
Mungkin saja sirkuit didalam situ berkelok kelok dalam atau malah berimpit
sangat ekstrim seperti jalur maut bagi para pembalap jika benar kelokan otak itu
tergantung dari frekuensi dan durasi penggunaannya. Karena selama aku
menghabiskan waktuku bersamamu selama kita saling mengenal, aku jarang sekali
melihatmu dalam kondisi santai dan tak memikirkan hal hal yang bagi otakku
sulit atau terlalu berat untuk dipikirkan. Bahkan setelah kamu berbaring diatas
tempat tidurmu pun kamu masih sempat sempatnya memikirkan hasil akhir dari
analisis momen yang terjadi pada rangka portal fana yang dijadikan sebagai soal
test tadi sore yang tak sempat diselesaikan dan dijadikan pekerjaan
rumah kita malam ini untuk menambah nilai test seandainya nilainya
sendiri tak memenuhi angka minimum.
“Iya
Rec, harusnya tadi tuh titik a, b dan c nggak ada momen primernya.” Katamu bersemangat.
“Kenapa?”
tanyaku tak sebersemangat kamu.
“Bebannya
loh, itu kan ada di titik tumpu. Dan sambungan kaku itu kan berarti jepit. Jadi
ya nggak ada momen. Tumpuan jepit jepit dengan beban terpusat di tumpuan. Gimana
mau ada momennya!”
“Ck,
aaah!” keluhku kesal, “Udah deh, lu nggak ngerti ya gua capek banget hari ini? Jangan
bikin gua pusing juga kali!”
“Lu
sendiri kan yang nggak terima kenapa jawaban dikelas tadi dibilang salah. Gua ya
ngingetin aja.”
“Iya,
tapi udahlah. Gua nggak terima salah kan bukan berarti gua masih mau mikirin
jawaban benernya. Seenggaknya nggak sekarang setelah masalah proyek udah cukup
bikin gua enek dan test dadakan tadi bikin gua stress.”
“Iya
sorry!” sesalmu. Terlihat nyata dengan cemberutnya wajahmu yang membuatmu
terlihat makin menggemaskan.
Aku
tersenyum sambil menyapukan punggung telunjuk kiriku berkali kali dipipimu. Kemudian
menggunakan tangan kiriku untuk menarikmu mendekat dan sedikit lagi merapat
padaku. Seperti biasanya, tak peduli udara terasa segerah apa pun kamu selalu
melesak kedalam selimut yang akan menutupi kaki telanjangmu yang hanya jenjang
atasnya saja yang terbalut celana pendekmu itu.
“Hari
ini tuh, yang, gua bĂȘte abis abisan di proyek.” Tuturku lugas. Aku selalu
menikmati saat saat aku bercerita masalahku padamu. Tentunya karena kamu adalah
seorang gadis yang selain cerdas dan berwawasan luas juga tipikal pendengar
yang sangat baik dan sangt wise.
“Kenapa?”
tanyamu antusias seperti biasa, juga selalu penuh ketulusan dalam perhatianmu.
“Kan
ceritanya Arsitek bikin perubahan, sesuai keinginan owner emang, tapi
nyebelin dong, masa ngerubah susunan kolom yang udah jadi.”
“Gimana
jadinya?”
“Dimundurin,
kolom paling depan dibongkar sejajar.”
“Ya
cuma tinggal bongkar aja kan?”
“Iya emang. Tapi kan kerjaan besok lusa jadi nambah
banyak.”
“Resiko
kontraktor emang gitu kan, mau gimana lagi?”
“Maunya
ya nggak perlu ada masalah yang dibikin bikin kayak tadi yang jadi ngehambat
gawean dan nambah nambah gawean.”
“Itumah
semua orang juga mau. Tapi aneh juga kalo segalanya selalu lancar kan, jadi
nikmatin aja.” Katamu enteng, tapi tak sedikit pun terdengar menyepelekan.
Aku
tersenyum. Cukup mengerti jalan pikiranmu, bagimu hidup ini hanya eksis dengan
adanya permasalahan, dan itu dengan sendirinya menjadikan kehidupan sendiri
sejak awal sudah cukup berat dan tak perlu dibuat semakin berat dengan anggapan
segalanya benar benar bisa jadi lebih berat lagi. Karena jika diteruskan pada
akhirnya akan muncul perasaan terbebani secara berlebih hingga berpikir tak
akan lagi sanggup menghadapinya, atau overload kamu selalu katakan dengan
nada suara geli yang terdengar lucu juga dikupingku bila kamu yang
mengatakannya. Bagaimana tak lucu, dengan entengnya kamu menganalogikan sifat
dan prilaku yang terjadi pada pola struktur terhadap hidupmu sendiri.
“Rec, apaan sih ah!” protesmu, saat aku
menggodamu seperti biasa kali ini dengan menggigit ringan daun kupingmu yang
dengan cepat memerah saat tergesek bibirku.
Aku
bisa mencium bibirmu dengan mudah seperti yang selalu terjadi, tak peduli kamu
berkali kali menghindar bahkan menjauh. Dan aku selalu menyukai waktu waktu
penolakanmu yang selalu berakhir sia sia bila aku memang tengah ingin
mencumbumu seperti ini. Kamu memang dan akan selalu lucu bagiku saat seperti
ini, bahkan dibanyak saat dan banyak kondisi. Selalu menggemaskanku, dan dengan
sendirinya membuatku merasa menyayangimu, sekaligus menyayangkanmu.
“Ssst!”
secara spontan aku menempelkan telunjukku dibibirmu saat ponselku berdering,
dan nama seorang gadis tertera di layar.
Amelia
memanggil.
Kamu
mengatupkan rapat rapat mulutmu, sementara wajahmu berekspresi seolah kamu
menyesal padahal sebenarnya merasa geli sebelum menghilang dari perhatianku,
tenggelam dalam naungan daguku dan bersembunyi dileherku.
“Hallo.”
Kataku tenang. Seolah tak bersalah.
“Udah
pulang kamu, yang?” Tanya suara manja ditelepon. Suara khas gadis yang sejak 2
tahun lalu jadi pacarku.
“Udah
dari tadi. Kamu lagi apa?”
“Aku
baru mau tidur.”
“Ya
udah kalo udah mau tidur, emang udah larut juga, sana gih tidur! Aku juga udah
siap siap pergi tidur.”
“Oke,
nice sleep kamu ya!”
“Kamu
juga.” Kataku lalu sambungan telepon diputus dari sana.
Dan
seolah aku bisa melupakannya, aku sekali lagi diingatkan akan hal yang
membuatku menyayangkanmu.
“Sya!”
panggilku pelan seraya membelai bahumu.
“Udah?”
tanyamu santai, aku mengiyakan, “Bentar banget?” katamu terdengar heran.
“Emang
cuma gitu aja dianya.” Jawabku jujur. Lagipula aku sendiri pun tak ingin
berlama lama berbincang dengan Amelia saat ada kamu bersamaku. Aku tak bisa
tega melakukannya padamu meski kamu selalu menunjukan wajah tak keberatan bila
terjadi seperti barusan. Sayangnya aku juga tak bisa mengatakannya dengan jujur
padamu, tertutama karena kamu sendiri yang mengekangku untuk mengatakannya
dengan segala sikapmu selama ini, sikap terlampau tenangmu selama ini.
Sekali
lagi aku menarik wajahmu mendekat, menempelkan bibirmu dibibirku meski kali ini
aku tak berkeras menciummu seperti tadi. Aku bisa merasakan saat bibirmu
tertarik membentuk senyuman yang jika aku bisa melihatnya pasti sekali lagi
membuatku merasa tak berdaya dan jatuh hati kepadamu atau lebih tepatnya benar
benar jatuh olehmu. Entah sejak kapan hal itu dimulai, saat pertama kali hatiku
ditekan kuat oleh pengaruh kepribadian gemilangmu, lalu ditarik kuat oleh pengaruh
keunikan pribadimu hingga akhirnya aku dibuat tak kuasa menahan pengaruh kuat
kehadiranmu.
Overload. Mungkin peristiwa itu lebih cocok
bagiku yang meski telah dirancangkan rencana masa depan yang matang bersama
Amelia, tapi pada akhirnya dibuat tak berdaya oleh segala sesuatu yang
kamu miliki dalam dirimu. Senyum tulusmu, keramahanmu, kepintaranmu,
ketergantunganku pada kemampuanmu di segala bidang yang kamu kuasai, daya
tarikmu yang selalu mampu menarik banyak orang disekitarmu, dan satu cerita
sedihmu yang jadi bebanmu sendiri, kisah overloadmu sendiri tentang
seorang pria yang tak pernah meninggalkan hati dan pikiranmu sepanjang
ingatanmu. Aku hanya bisa berharap tak akan terjadi crack setelah ini,
apalagi hingga collapse yang mungkin akan kita alami karena kelakuan
culasku ini atau karena overload yang seolah sengaja dibebankan pada
kita masing masing ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar