Rabu, 24 April 2013

OVERLOAD

Sampai hari ini pun aku masih belum mengerti seperti apa lengkung otak dalam kepalamu. Mungkin saja sirkuit didalam situ berkelok kelok dalam atau malah berimpit sangat ekstrim seperti jalur maut bagi para pembalap jika benar kelokan otak itu tergantung dari frekuensi dan durasi penggunaannya. Karena selama aku menghabiskan waktuku bersamamu selama kita saling mengenal, aku jarang sekali melihatmu dalam kondisi santai dan tak memikirkan hal hal yang bagi otakku sulit atau terlalu berat untuk dipikirkan. Bahkan setelah kamu berbaring diatas tempat tidurmu pun kamu masih sempat sempatnya memikirkan hasil akhir dari analisis momen yang terjadi pada rangka portal fana yang dijadikan sebagai soal test tadi sore yang tak sempat diselesaikan dan dijadikan pekerjaan rumah kita malam ini untuk menambah nilai test seandainya nilainya sendiri tak memenuhi angka minimum.

“Iya Rec, harusnya tadi tuh titik a, b dan c nggak ada momen primernya.” Katamu bersemangat.

“Kenapa?” tanyaku tak sebersemangat kamu.

“Bebannya loh, itu kan ada di titik tumpu. Dan sambungan kaku itu kan berarti jepit. Jadi ya nggak ada momen. Tumpuan jepit jepit dengan beban terpusat di tumpuan. Gimana mau ada momennya!”

“Ck, aaah!” keluhku kesal, “Udah deh, lu nggak ngerti ya gua capek banget hari ini? Jangan bikin gua pusing juga kali!”

“Lu sendiri kan yang nggak terima kenapa jawaban dikelas tadi dibilang salah. Gua ya ngingetin aja.”

“Iya, tapi udahlah. Gua nggak terima salah kan bukan berarti gua masih mau mikirin jawaban benernya. Seenggaknya nggak sekarang setelah masalah proyek udah cukup bikin gua enek dan test dadakan tadi bikin gua stress.”

“Iya sorry!” sesalmu. Terlihat nyata dengan cemberutnya wajahmu yang membuatmu terlihat makin menggemaskan.

Aku tersenyum sambil menyapukan punggung telunjuk kiriku berkali kali dipipimu. Kemudian menggunakan tangan kiriku untuk menarikmu mendekat dan sedikit lagi merapat padaku. Seperti biasanya, tak peduli udara terasa segerah apa pun kamu selalu melesak kedalam selimut yang akan menutupi kaki telanjangmu yang hanya jenjang atasnya saja yang terbalut celana pendekmu itu.

“Hari ini tuh, yang, gua bĂȘte abis abisan di proyek.” Tuturku lugas. Aku selalu menikmati saat saat aku bercerita masalahku padamu. Tentunya karena kamu adalah seorang gadis yang selain cerdas dan berwawasan luas juga tipikal pendengar yang sangat baik dan sangt wise.

“Kenapa?” tanyamu antusias seperti biasa, juga selalu penuh ketulusan dalam perhatianmu.

“Kan ceritanya Arsitek bikin perubahan, sesuai keinginan owner emang, tapi nyebelin dong, masa ngerubah susunan kolom yang udah jadi.”

“Gimana jadinya?”

“Dimundurin, kolom paling depan dibongkar sejajar.”

“Ya cuma tinggal bongkar aja kan?”

 “Iya emang. Tapi kan kerjaan besok lusa jadi nambah banyak.”

“Resiko kontraktor emang gitu kan, mau gimana lagi?”

“Maunya ya nggak perlu ada masalah yang dibikin bikin kayak tadi yang jadi ngehambat gawean dan nambah nambah gawean.”

“Itumah semua orang juga mau. Tapi aneh juga kalo segalanya selalu lancar kan, jadi nikmatin aja.” Katamu enteng, tapi tak sedikit pun terdengar menyepelekan.

Aku tersenyum. Cukup mengerti jalan pikiranmu, bagimu hidup ini hanya eksis dengan adanya permasalahan, dan itu dengan sendirinya menjadikan kehidupan sendiri sejak awal sudah cukup berat dan tak perlu dibuat semakin berat dengan anggapan segalanya benar benar bisa jadi lebih berat lagi. Karena jika diteruskan pada akhirnya akan muncul perasaan terbebani secara berlebih hingga berpikir tak akan lagi sanggup menghadapinya, atau overload kamu selalu katakan dengan nada suara geli yang terdengar lucu juga dikupingku bila kamu yang mengatakannya. Bagaimana tak lucu, dengan entengnya kamu menganalogikan sifat dan prilaku yang terjadi pada pola struktur terhadap hidupmu sendiri.

 “Rec, apaan sih ah!” protesmu, saat aku menggodamu seperti biasa kali ini dengan menggigit ringan daun kupingmu yang dengan cepat memerah saat tergesek bibirku.

Aku bisa mencium bibirmu dengan mudah seperti yang selalu terjadi, tak peduli kamu berkali kali menghindar bahkan menjauh. Dan aku selalu menyukai waktu waktu penolakanmu yang selalu berakhir sia sia bila aku memang tengah ingin mencumbumu seperti ini. Kamu memang dan akan selalu lucu bagiku saat seperti ini, bahkan dibanyak saat dan banyak kondisi. Selalu menggemaskanku, dan dengan sendirinya membuatku merasa menyayangimu, sekaligus menyayangkanmu.

“Ssst!” secara spontan aku menempelkan telunjukku dibibirmu saat ponselku berdering, dan nama seorang gadis tertera di layar.

Amelia memanggil.

Kamu mengatupkan rapat rapat mulutmu, sementara wajahmu berekspresi seolah kamu menyesal padahal sebenarnya merasa geli sebelum menghilang dari perhatianku, tenggelam dalam naungan daguku dan bersembunyi dileherku.

“Hallo.” Kataku tenang. Seolah tak bersalah.

“Udah pulang kamu, yang?” Tanya suara manja ditelepon. Suara khas gadis yang sejak 2 tahun lalu jadi pacarku.

“Udah dari tadi. Kamu lagi apa?”

“Aku baru mau tidur.”

“Ya udah kalo udah mau tidur, emang udah larut juga, sana gih tidur! Aku juga udah siap siap pergi tidur.”

“Oke, nice sleep kamu ya!”

“Kamu juga.” Kataku lalu sambungan telepon diputus dari sana.

Dan seolah aku bisa melupakannya, aku sekali lagi diingatkan akan hal yang membuatku menyayangkanmu.

“Sya!” panggilku pelan seraya membelai bahumu.

“Udah?” tanyamu santai, aku mengiyakan, “Bentar banget?” katamu terdengar heran.

“Emang cuma gitu aja dianya.” Jawabku jujur. Lagipula aku sendiri pun tak ingin berlama lama berbincang dengan Amelia saat ada kamu bersamaku. Aku tak bisa tega melakukannya padamu meski kamu selalu menunjukan wajah tak keberatan bila terjadi seperti barusan. Sayangnya aku juga tak bisa mengatakannya dengan jujur padamu, tertutama karena kamu sendiri yang mengekangku untuk mengatakannya dengan segala sikapmu selama ini, sikap terlampau tenangmu selama ini.

Sekali lagi aku menarik wajahmu mendekat, menempelkan bibirmu dibibirku meski kali ini aku tak berkeras menciummu seperti tadi. Aku bisa merasakan saat bibirmu tertarik membentuk senyuman yang jika aku bisa melihatnya pasti sekali lagi membuatku merasa tak berdaya dan jatuh hati kepadamu atau lebih tepatnya benar benar jatuh olehmu. Entah sejak kapan hal itu dimulai, saat pertama kali hatiku ditekan kuat oleh pengaruh kepribadian gemilangmu, lalu ditarik kuat oleh pengaruh keunikan pribadimu hingga akhirnya aku dibuat tak kuasa menahan pengaruh kuat kehadiranmu.

Overload. Mungkin peristiwa itu lebih cocok bagiku yang meski telah dirancangkan rencana masa depan yang matang bersama Amelia, tapi pada akhirnya dibuat tak berdaya oleh segala sesuatu yang kamu miliki dalam dirimu. Senyum tulusmu, keramahanmu, kepintaranmu, ketergantunganku pada kemampuanmu di segala bidang yang kamu kuasai, daya tarikmu yang selalu mampu menarik banyak orang disekitarmu, dan satu cerita sedihmu yang jadi bebanmu sendiri, kisah overloadmu sendiri tentang seorang pria yang tak pernah meninggalkan hati dan pikiranmu sepanjang ingatanmu. Aku hanya bisa berharap tak akan terjadi crack setelah ini, apalagi hingga collapse yang mungkin akan kita alami karena kelakuan culasku ini atau karena overload yang seolah sengaja dibebankan pada kita masing masing ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar