Macet, bising dan ramai.
Suasana khas jalanan di akhir pekan
yang tak akan pernah tak terjadi. Dulu mungkin menyenangkan tapi kini sudah tak
terasa begitu lagi. Khususnya olehku yang sudah muak dengan rasa lelah
sepanjang minggu dalam aktivitas padat. Rasa lelah tambahan karena mengemudi di
suasana yang kacau balau tentunya jadi hal yang tak pernah aku inginkan.
Apalagi malam ini, setelah seharian
kemarin aku bekerja, dan malamnya juga melembur hampir tanpa tidur, lalu siang
tadi kembali melanjutkan pekerjaanku, kondisi ini pastilah tak sedikit pun
kuharapkan.
Tapi apalah daya, volume jalanan yang
padat ini telah berlangsung sejak pertama kali kukemudikan sendiri motor bebek
pertamaku yang dulu masih menjadi kebanggaan bagiku hingga kini kendaraan itu
telah jadi monument di halaman belakang rumah ibuku. Kemacetan ini, seolah
telah menjadi budaya yang semakin lama semakin subur layaknya jamur dimusim
penghujan. Kepemilikan kendaraan pribadi yang semakin umum tentulah jadi salah
satu faktornya selain faktor perkembangan penduduknya. Dan tak ada batasan
jumlah kendaraan pribadi yang diijinkan jadi faktor lain yang mendukung situasi
ini.
Gerimis mulai menebal. Tapi tak menjadi
alasan bagiku untuk menghentikan laju motorku hingga tiba di tempat tujuanku.
Seperti bukan alasan juga bagi orang orang disekitarku untuk mengurungkan niat
mereka menikmati Sabtu malam bersama orang orang terkasih, yang legal maupun ilegal.
Aku sendiri sama untuk urusan yang satu itu, meski sore tadi gerimis sudah
mulai berjaya aku tak urung memacu gas motorku untuk menemui pacarku yang
selalu menunggu kunjunganku terutama di Sabtu malamnya seperti ini, dan
beberapa saat lalu pun aku juga tak gentar menghalau gerimis tebal dan
meninggalkan senyum gadis manis itu untuk bisa besamamu.
Aku bahkan sudah bisa melihatmu. Duduk
tenang di depan komputermu sementara kertas kertas dan alat tulis berserakan
disekitarmu. Khasmu. Kamu memang selalu begitu saat aku datang, bahkan hampir
selalu tak menyadari kehadiranku, sama sekali tak seperti pacarku yang selalu
menyambutku pertama kali dengan senyum hangatnya. Dan aku pun tak keberatan
dengan dirimu yang begitu.
“Loh? Kenapa disini?” tanyamu selalu,
“Kapan masuknya, kok nggak kedengeran?” seperti itulah pertanyaan lanjutanmu
tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab pertanyaan sebelumnya. Aku pun tak pernah
keberatan dengan runtutan pertanyaan ringanmu yang seringnya tak pernah ku
jawab.
Maka aku lalu akan melangkahkan kakiku
memasuki kamarmu, mendekatimu hingga sangat dekat di belakangmu dan
melingkarkan kedua tanganku untuk mendekapmu setelah melemparkan kunci motor
ditanganku bersama satu set kunci cadangan rumahmu yang kamu berikan sendiri
padaku.
“Kenapa? Tumben disini? Nggak ngapel
kamu?” tanyamu selanjutnya lagi.
Aku selalu hanya bisa tersenyum sesaat
sebelum membenamkan wajahku di jenjang lehermu yang beraroma sedap dan sudah
kukenali pasti juga khas dirimu. Suaramu, bahasa tubuhmu, senyum manismu yang
seperti selalu terukur, entah sejak kapan aku mulai mengenali apa yang jadi
bagian dirimu itu, seperti raut muka dan ketidak terbukaan seutuhnya yang kau
telan sendiri dibalik sinar matamu. Aku menyayangimu sejak saat aku tak
menyadarinya, hingga kini aku merindukanmu. Dan hal itulah yang membuatku malam
ini merasa tak tahan berada di samping pacar legalku dan membiarkanmu sendiri
hanya karena status ilegalmu.
Kamu memang tak pernah mengeluh, tahu
diri, kalau kata bahasamu. Dan kapan pun aku datang, untuk mengeluh, untuk
meminta bantuan, untuk sekedar melepas tekanan karena pekerjaan dan studi
lanjutanku, atau untuk apapun yang aku ingin, aku harus dan aku hanya bisa
lakukan bersamamu dan bukan dengan pacarku, seperti cara dirimu yang selalu aku
ingat itulah, kamu selalu menerima kehadiranku. Aku pun bersyukur, dan
menyesali keadaanmu sekaligus, bahkan hingga detik ini, karena apapun statusmu,
apapun statusku, aku sendiri tak pernah begitu mengerti isi dari sel sel rumit
dalam kepalamu apalagi kandungan tak kasat mata dalam segumpal daging di rongga
dadamu. Hanya senyummu yang bisa kupahami dan bagiku itu tentunya bukanlah
seutuhnya dirimu.
Didepan rumahmu kuhentikan motorku. Dengan
kunci cadangan rumah yang kumiliki aku membuka pintu depanmu yang selalu
terkunci bila aku datang dan kumasukan motorku langsung tanpa perlu menunggu
ijinmu. Malam ini aku akan bermalam bersamamu, bisa kubayangkan waktu
menyenangkan yang akan kita lewati seperti waktuku bersamamu yang selalu
begitu. Kamu tak pernah membosankan, apalagi menjemukan. Meski terkadang
cerewet, sinis dan otakmu terlalu pintar untuk kukalahkan dan kudebat dalam hal
apapun, tapi bersamamu selalu menenangkan. Ya, kamu memang penuh misteri, penuh
kesejukan dan penuh energi positif, yang membawaku serta kedalam sifat sifat
positif yang kamu miliki bahkan yang semula tak pernah aku miliki. Kamu yang
tak pernah terlihat stress, selalu tampak senang dihari harimu, selalu
menikmati kegiatan kegiatan berbobot beratmu, juga tak pernah membiarkan keluh
dan kesah mengisi tutur katamu, benar benar kuanggap harta langka meski tak
semua orang menganggap berharga atau istimewa.
Langkahku bersemangat meniti tangga
menuju lantai dua, dimana diujung tangga sana pintu kamarmu akan terbuka dan
kamu akan duduk disana. Dan benar saja, aku bisa melihatmu, duduk sendiri di
depan komputermu seperti biasa, tak menyadari kehadiranku juga seperti biasa. Lalu
langkahku melambat, merayap menghampiri pintumu, mengendap seperti pencuri yang
tak diharapkan kedatangannya.
Lalu aku tertegun diambang pintumu. Kamu
tak juga menyadari kehadiranku.
Kulihat tatapanmu kosong menghadap
layar lebar berlatar putih, berisikan kata kata yang terangkai jadi banyak
kalimat hingga membentuk paragraph demi paragraph, entah berisi apa. Dan sekali
saja, pertama kalinya, kudengar pelan isak tangismu yang tertahan.
Kamu menoleh padaku seketika, sejenak
saja sebelum wajahmu tersembunyi kembali di balik geraian rambutmu bersama
tangan kirimu yang menyapu cepat wajahmu, sementara dengan sama cepatnya
jemarimu menggerakan mouse yang menyala berwarna merah itu dan menutup aplikasi
yang sejak tadi kamu pandangi.
“Loh? Kenapa disini?” tanyamu, suaramu
masih sedikit bergetar dan samar bisa kudengar, “Kapan masuknya, kok nggak
kedengeran?” lanjutmu, dengan suara yang sudah kembali tenang seperti biasa
tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab pertanyaan sebelumnya.
Aku melangkahkan kakiku memasuki kamarmu,
mendekatimu hingga sangat dekat di belakangmu dan melingkarkan kedua tanganku
untuk mendekapmu setelah melemparkan kunci motor ditanganku bersama satu set
kunci cadangan rumahmu yang kamu berikan sendiri padaku.
“Kenapa? Tumben disini? Nggak ngapel
kamu?” tanyamu lagi.
Aku mengeratkan dekapanku, membenamkan dalam
dalam wajahku dijenjang lehermu yang selalu beraroma sama. Khasmu. Seperti kepedihan
yang sesaat tadi tergambar di mata basahmu, yang rupanya juga bagian dari ciri khasmu
yang tak pernah aku tahu sebelumnya. Terlintas dalam benakku pertanyaan yang
tak pernah sekali pun kupikirkan bila mengingat tentang dirimu.
“Kayak ginikah lu tiap nggak ada gua?”
bisikku, sangat pelan, sangat tak yakin.
Kamu tersenyum, aku bisa merasakannya,
tapi taka da suaramu yang bisa kudengar. Tak ada jawaban.
Pedih.
Begitu banyak yang aku tak mengerti
darimu sebelumnya, dan tiba tiba saja aku pahami. Kamu yang selalu tampak kuat
dan tegar, rupanya tak sekokoh yang selalu kulihat. Tak ubahnya struktur kolom
bangunan berlapis keramik anti pecah, aku tak pernah mengetahui, lubang lubang
keropos bagian beton didalamnya hingga kolom itu patah dan hancur dibelakangku.
Itulah dirimu, kepalsuanmu, dan itu seharusnya bukanlah jati dirimu.
Tapi tetap saja, aku hanya bisa
berharap mengetahui yang sebenarnya. Tanpa mencari tahu apa yang sebenarnya. Karena
bukan hanya kamu yang palsu, kehadiranku didekatmu pun hingga kini masih berupa
kepalsuan semata. Tak peduli rasa yang kupunya yang berupa kepedulian dan sayang
yang berbobot berat ini adalah seasli aslinya rasa yang pernah kumiliki. Tak ada
legalitas yang memberiku hak, mengetahui seasli aslinya dirimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar