Minggu, 12 Mei 2013

LEGALITY



Macet, bising dan ramai.
Suasana khas jalanan di akhir pekan yang tak akan pernah tak terjadi. Dulu mungkin menyenangkan tapi kini sudah tak terasa begitu lagi. Khususnya olehku yang sudah muak dengan rasa lelah sepanjang minggu dalam aktivitas padat. Rasa lelah tambahan karena mengemudi di suasana yang kacau balau tentunya jadi hal yang tak pernah aku inginkan. Apalagi malam  ini, setelah seharian kemarin aku bekerja, dan malamnya juga melembur hampir tanpa tidur, lalu siang tadi kembali melanjutkan pekerjaanku, kondisi ini pastilah tak sedikit pun kuharapkan.
Tapi apalah daya, volume jalanan yang padat ini telah berlangsung sejak pertama kali kukemudikan sendiri motor bebek pertamaku yang dulu masih menjadi kebanggaan bagiku hingga kini kendaraan itu telah jadi monument di halaman belakang rumah ibuku. Kemacetan ini, seolah telah menjadi budaya yang semakin lama semakin subur layaknya jamur dimusim penghujan. Kepemilikan kendaraan pribadi yang semakin umum tentulah jadi salah satu faktornya selain faktor perkembangan penduduknya. Dan tak ada batasan jumlah kendaraan pribadi yang diijinkan jadi faktor lain yang mendukung situasi ini.
Gerimis mulai menebal. Tapi tak menjadi alasan bagiku untuk menghentikan laju motorku hingga tiba di tempat tujuanku. Seperti bukan alasan juga bagi orang orang disekitarku untuk mengurungkan niat mereka menikmati Sabtu malam bersama orang orang terkasih, yang legal maupun ilegal. Aku sendiri sama untuk urusan yang satu itu, meski sore tadi gerimis sudah mulai berjaya aku tak urung memacu gas motorku untuk menemui pacarku yang selalu menunggu kunjunganku terutama di Sabtu malamnya seperti ini, dan beberapa saat lalu pun aku juga tak gentar menghalau gerimis tebal dan meninggalkan senyum gadis manis itu untuk bisa besamamu.
Aku bahkan sudah bisa melihatmu. Duduk tenang di depan komputermu sementara kertas kertas dan alat tulis berserakan disekitarmu. Khasmu. Kamu memang selalu begitu saat aku datang, bahkan hampir selalu tak menyadari kehadiranku, sama sekali tak seperti pacarku yang selalu menyambutku pertama kali dengan senyum hangatnya. Dan aku pun tak keberatan dengan dirimu yang begitu.
“Loh? Kenapa disini?” tanyamu selalu, “Kapan masuknya, kok nggak kedengeran?” seperti itulah pertanyaan lanjutanmu tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab pertanyaan sebelumnya. Aku pun tak pernah keberatan dengan runtutan pertanyaan ringanmu yang seringnya tak pernah ku jawab.
Maka aku lalu akan melangkahkan kakiku memasuki kamarmu, mendekatimu hingga sangat dekat di belakangmu dan melingkarkan kedua tanganku untuk mendekapmu setelah melemparkan kunci motor ditanganku bersama satu set kunci cadangan rumahmu yang kamu berikan sendiri padaku.
“Kenapa? Tumben disini? Nggak ngapel kamu?” tanyamu selanjutnya lagi.
Aku selalu hanya bisa tersenyum sesaat sebelum membenamkan wajahku di jenjang lehermu yang beraroma sedap dan sudah kukenali pasti juga khas dirimu. Suaramu, bahasa tubuhmu, senyum manismu yang seperti selalu terukur, entah sejak kapan aku mulai mengenali apa yang jadi bagian dirimu itu, seperti raut muka dan ketidak terbukaan seutuhnya yang kau telan sendiri dibalik sinar matamu. Aku menyayangimu sejak saat aku tak menyadarinya, hingga kini aku merindukanmu. Dan hal itulah yang membuatku malam ini merasa tak tahan berada di samping pacar legalku dan membiarkanmu sendiri hanya karena status ilegalmu.
Kamu memang tak pernah mengeluh, tahu diri, kalau kata bahasamu. Dan kapan pun aku datang, untuk mengeluh, untuk meminta bantuan, untuk sekedar melepas tekanan karena pekerjaan dan studi lanjutanku, atau untuk apapun yang aku ingin, aku harus dan aku hanya bisa lakukan bersamamu dan bukan dengan pacarku, seperti cara dirimu yang selalu aku ingat itulah, kamu selalu menerima kehadiranku. Aku pun bersyukur, dan menyesali keadaanmu sekaligus, bahkan hingga detik ini, karena apapun statusmu, apapun statusku, aku sendiri tak pernah begitu mengerti isi dari sel sel rumit dalam kepalamu apalagi kandungan tak kasat mata dalam segumpal daging di rongga dadamu. Hanya senyummu yang bisa kupahami dan bagiku itu tentunya bukanlah seutuhnya dirimu.
Didepan rumahmu kuhentikan motorku. Dengan kunci cadangan rumah yang kumiliki aku membuka pintu depanmu yang selalu terkunci bila aku datang dan kumasukan motorku langsung tanpa perlu menunggu ijinmu. Malam ini aku akan bermalam bersamamu, bisa kubayangkan waktu menyenangkan yang akan kita lewati seperti waktuku bersamamu yang selalu begitu. Kamu tak pernah membosankan, apalagi menjemukan. Meski terkadang cerewet, sinis dan otakmu terlalu pintar untuk kukalahkan dan kudebat dalam hal apapun, tapi bersamamu selalu menenangkan. Ya, kamu memang penuh misteri, penuh kesejukan dan penuh energi positif, yang membawaku serta kedalam sifat sifat positif yang kamu miliki bahkan yang semula tak pernah aku miliki. Kamu yang tak pernah terlihat stress, selalu tampak senang dihari harimu, selalu menikmati kegiatan kegiatan berbobot beratmu, juga tak pernah membiarkan keluh dan kesah mengisi tutur katamu, benar benar kuanggap harta langka meski tak semua orang menganggap berharga atau istimewa.
Langkahku bersemangat meniti tangga menuju lantai dua, dimana diujung tangga sana pintu kamarmu akan terbuka dan kamu akan duduk disana. Dan benar saja, aku bisa melihatmu, duduk sendiri di depan komputermu seperti biasa, tak menyadari kehadiranku juga seperti biasa. Lalu langkahku melambat, merayap menghampiri pintumu, mengendap seperti pencuri yang tak diharapkan kedatangannya.
Lalu aku tertegun diambang pintumu. Kamu tak juga menyadari kehadiranku.
Kulihat tatapanmu kosong menghadap layar lebar berlatar putih, berisikan kata kata yang terangkai jadi banyak kalimat hingga membentuk paragraph demi paragraph, entah berisi apa. Dan sekali saja, pertama kalinya, kudengar pelan isak tangismu yang tertahan.
Kamu menoleh padaku seketika, sejenak saja sebelum wajahmu tersembunyi kembali di balik geraian rambutmu bersama tangan kirimu yang menyapu cepat wajahmu, sementara dengan sama cepatnya jemarimu menggerakan mouse yang menyala berwarna merah itu dan menutup aplikasi yang sejak tadi kamu pandangi.
“Loh? Kenapa disini?” tanyamu, suaramu masih sedikit bergetar dan samar bisa kudengar, “Kapan masuknya, kok nggak kedengeran?” lanjutmu, dengan suara yang sudah kembali tenang seperti biasa tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab pertanyaan sebelumnya.
Aku  melangkahkan kakiku memasuki kamarmu, mendekatimu hingga sangat dekat di belakangmu dan melingkarkan kedua tanganku untuk mendekapmu setelah melemparkan kunci motor ditanganku bersama satu set kunci cadangan rumahmu yang kamu berikan sendiri padaku.
“Kenapa? Tumben disini? Nggak ngapel kamu?” tanyamu lagi.
Aku mengeratkan dekapanku, membenamkan dalam dalam wajahku dijenjang lehermu yang selalu beraroma sama. Khasmu. Seperti kepedihan yang sesaat tadi tergambar di mata basahmu, yang rupanya juga bagian dari ciri khasmu yang tak pernah aku tahu sebelumnya. Terlintas dalam benakku pertanyaan yang tak pernah sekali pun kupikirkan bila mengingat tentang dirimu.
“Kayak ginikah lu tiap nggak ada gua?” bisikku, sangat pelan, sangat tak yakin.
Kamu tersenyum, aku bisa merasakannya, tapi taka da suaramu yang bisa kudengar. Tak ada jawaban.
Pedih.
Begitu banyak yang aku tak mengerti darimu sebelumnya, dan tiba tiba saja aku pahami. Kamu yang selalu tampak kuat dan tegar, rupanya tak sekokoh yang selalu kulihat. Tak ubahnya struktur kolom bangunan berlapis keramik anti pecah, aku tak pernah mengetahui, lubang lubang keropos bagian beton didalamnya hingga kolom itu patah dan hancur dibelakangku. Itulah dirimu, kepalsuanmu, dan itu seharusnya bukanlah jati dirimu.
Tapi tetap saja, aku hanya bisa berharap mengetahui yang sebenarnya. Tanpa mencari tahu apa yang sebenarnya. Karena bukan hanya kamu yang palsu, kehadiranku didekatmu pun hingga kini masih berupa kepalsuan semata. Tak peduli rasa yang kupunya yang berupa kepedulian dan sayang yang berbobot berat ini adalah seasli aslinya rasa yang pernah kumiliki. Tak ada legalitas yang memberiku hak, mengetahui seasli aslinya dirimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar