Kamis, 12 September 2013

Unclear. . .

Malam mulai meninggi. Kamu sudah mengatakan padaku, malam ini kamu tak akan menginap untukku. Dan aku sudah mengiyakan tanpa berkeberatan.

Tapi kita telah lebih dari dua jam dikamar ini, tak melakukan apapun selain saling membisu, dengan kamu menghadapi layar laptopmu sendiri seperti aku yang yang juga menekuni laptopku sendiri. 

Kebekuan diantara kita ini sedikit asing bagiku. Cukup menyesakan lantaran banyak hal yang begitu inginnya kukatakan padamu. Dan aku tak bisa melakukannya. 

Aku merasa benar benar kagok didekatmu seperti ini.

 

I’ve been living in the shadow overhead,

I’ve been sleeping with the cloud above my bed,

I’ve been lonely for so long,

Trapped in the pas, I just can’t seem to move on


Seperti itulah lirik yang dinyanyikan oleh Drew Barrymore bersama Hugh Grant dalam tembang berjudul way back into love. Lagu yang pelan kusenandungkan mengiringi lantunan aslinya dari file music di laptopku. Sedikit melankolis tapi penuh pengakuan yang tulus. Seperti hatiku malam ini, yang sungguh ingin mengutarakan kepiluan yang sama kepadamu. Tapi kamu sudah tahu sebagian besar ceritaku, terutama tentang kisah seberapa tak beruntungnya aku menjalin hubungan dengan para pria yang pernah datang padaku terdahulu.

lagipula, hari ini aku melihatmu tak seperti kamu yang selalu kutahu. Yang biasanya akan dengan sikap menyenangkan mendengar keluhanku bahkan yang paling memalukan dan menyedihkan sekalipun, seperti adanya sedikit rasa jera dan takut dalam hatiku untuk kembali mencoba menjalin hubungan asmara yang suka tak suka, mau tak mau harus dimiliki semua manusia, atau lebih tepatnya mahluk hidup.

Itulah yang aku suka darimu, pembawaanmu yang luar biasa pandai dalam mengayom dan ngemomong. Yang sama sekali diluar dugaanku, dapat menaklukan keras hati yang telah kupelihara sepanjang ingatanku.

Malu malu kuakui pada diriku, aku menyukaimu lebih dari sekedar karena alasan yang aku tahu.

Dan kamu pun, kupikir memiliki rasa yang sama. Kusimpulkan hal itu karena kehadiranmu yang seolah tanpa bosan bersamaku disepanjang waktu yang kita bisa lewati bersama. Kamu hampir selalu ada saat aku minta kamu untuk ada bersamaku.


I’ve been looking for someone to she’d some light

Not somebody just to catch me trough the night

I could used some direction,

And I’m open to your suggestion


Kulantunkan lagi senandung indah itu dengan suara parauku yang sebenarnya terdengar merusak lagu aslinya.

Aku sungguh merasa sedang menyukainya lagi kali ini.

Meski jika dihayati dan dipahami setiap katanya sedikit merendahkan diriku sendiri, tapi sejujur jujurnya justru itulah hal yang paling aku ingin kamu ketahui. Kehadiranmu disetiap malamku, disamping tidur lelapku juga dihadapan mataku yang baru terbangun, semakin harinya semakin aku rasakan pedih. Dalam hatiku memang tak hanya sebatas itu aku ingin kamu ada. Hanya saja aku tak pernah berani secara langsung memintanya.

Menurut kebanyakan orang, aku gadis hanya sebatas casingnya saja. Sebagian orang mengatakan aku jiwa pria yang terjebak di tubuh wanita. Meski sedikit orang meyakini aku perempuan diluar dan didalamnya, dan satu dari sedikit itu adalah dirimu. Dan kamulah yang paling tak pernah meragukan bahwa aku bisa benar benar menjadi seorang perempuan sepenuhnya selain keluargaku. Karena itu, aku tak pernah ingin merusak penilaianmu itu dengan bertindak lebih dulu dalam hubungan kita meski terkadang aku tak bisa menahan diriku yang selalu lebih agresif mendekatimu daripada kamu padaku. Kupikir setidaknya pengakuan rasaku tak boleh muncul lebih dulu seberapa besarnya pun kemauanku.

Jujur saja, aku sudah tak tahan denganmu. Dengan tidak adanya komitmen diantara kita yang didepan public seolah telah bersama lantaran adanya komitmen yang tidak ada itu. Aku sama sekali tak bisa memikirkan apa yang membuatmu tahan bersamaku dengan kondisi yang menggamangkan seperti ini. 


There’s a moment when I don’t know if it’s real

Or if anybody feel the way I feel

I need inspiration, not just another negosiation


Tawaku meluncur setengah detik saja tanpa sempat kamu sadari, lebih seperti mengejek dari pada geli pada diri sendiri. Lagu ini sedang terdengar seperti sengaja dibuat untukku. Setiap katanya jelas seperti apa yang ingin kusampaikan padamu.

Kadang aku berpikir, mungkin hubungan kita yang seperti ini hanya ada dalam kepalaku saja. Dalam pemikiranmu, mungkin saja aku masih seorang teman biasa, yang dekat tanpa rindu, akrab tanpa emosi, intim tanpa makna.

Hal yang paling tercetak tebal dalam pikiranku, justru adalah hal yang satu itu.

Aku apa kamu?

Kenapa aku begitu merindukanmu tapi tak bebas mengutarakan langsung dihadapanmu dan malah takut kamu tak sama sepertiku?

Kenapa berbagai macam argue tentang pola pikirmu selalu bermunculan dikepalaku saat aku berfikir tentangmu yang tak juga menjelaskan kondisi kita berdua pada kita berdua?

Sungguh rangkaian kata sampah macam apapun bagiku tak lebih berarti dari satu patah kata tegasmu ‘ya’ atau ‘tidak’ isi hatimu sama denganku. Berharap cerita kita tak hanya cerpen bermasalah satu, dua tema saja.


All I wanna do is find a way back into love

I can’t make it trough without a way back into love

And if I open my heart to you, I’m hoping you’ll show me what to do

And if you help me to start again, you know that I’ll be there for you in the end…


“Aku pulang ya.” Katamu tiba tiba, akhirnya.

Aku mengiyakan tanpa bicara. Sebenarnya aku enggan membiarkanmu pergi. Aku merasa belum mendapat apapun malam ini, belum membuatmu mengerti sama sekali.

Tapi kamu tetap pergi, pulang membawa pemikiranmu sendiri. Dan aku tak yakin kamu sepenuhnya tak mengerti. Entah apa yang masih kamu cari dan kamu nanti hingga selama ini. Aku tak akan mampu lebih lama lagi tetap berpura pura status kita sama sekali tak berarti.

Minggu, 02 Juni 2013

Graduation


Pipi chubbymu yang membuatmu terlihat lebih muda dariku meski sebenarnya malah sebaliknya tampak lebih menggelembung saat kamu dalam keadaan pulas seperti ini. Wajahmu rupanya bisa terlihat lebih polos dari kepolosanmu sehari sehari yang membuatku secara mutlak jatuh hati padamu meski tak pernah lulus menyatakannya langsung padamu. Karenanya, aku sama sekali tak pernah menduga sebelumnya akan bisa melihatmu yang seperti ini.
Andai kemarin hal itu tak terjadi, kondisi ini pun mungkin tak akan terjadi.
Makanya, meski aku merasa terluka melihat air mata dan amarahmu, aku juga bersyukur kekecewaan dan rasa kesalmu meluap dan tumpah ruah semalam.
Perlahan matamu terbuka saat kuusapkan jemariku diwajahmu.
“Morning, Sunshine!” sapaku pelan, senyumku kaku meski rasa senang bersarang dihatiku.
Kamu tersenyum sama kakunya. Tapi tetap manis seperti yang telah kukenali sejak awal aku mengenalmu. Jauh berbeda dengan kekelaman ekspresimu kemarin.
Sungguh tak akan pernah bisa aku lupakan kobaran amarah dimatamu yang membakar semua teman teman kita yang selama ini selalu mempercayai dan mengandalkan kemampuanmu.
Mereka pun, yang baru pertama kalinya melihat kemarahanmu yang mentransformasimu menjadi seorang gadis kasar dan sangar tampak tak mempercayai mata mereka sendiri yang biasanya memperlihatkan dirimu yang selalu penuh kesabaran dan kebaikan hati kala mereka mendatangimu dan menyusahkanmu dengan permintaan bantuan dalam perkuliahan mereka.
Kamu memang selalu, dengan penuh ketulusan membimbing teman teman kita juga aku sendiri bila kami semua datang padamu saat kami kesulitan dengan segala tugas yang kami dapatkan, hingga kami tak pernah gagal menyelesaikan segala sesuatunya.
Dan kami juga, selalu mejadikanmu kartu truf kami, bila ketidak mampuan telah mulai dirasakan. Bahkan, aku menyadari sepenuhnya, aku, mungkin juga yang lainnya datang padamu dan dengan egoisnya menyusahkanmu bila rasa malas mulai hadir tak peduli sebenarnya tanpamu pun kami bisa sendiri.
Keberadaanmu sepertinya memang berarti seperti itu. Sosokmu yang pemerhati dan penuh kepedulian, membuat kami semua nyaman meminta banyak hal yang melibatkan daya pikir dan kemampuan nalar darimu. Kepandaian dan kepintaran otakmu dalam hampir segala bidang di dunia yang kita geluti ini, membuat kami semua berpikir, kamu selalu mampu dan bisa segalanya.
Eksistensimu yang selalu syarat akan kesediaan hati dan ketulusanmu, malah pada akhirnya membuat kami lupa kamu hanya gadis biasa yang bisa juga merasa lelah, jenuh dan jengah. Hingga diwaktu seperti apapun, di tempat seperti apapun dan dikondisi macam apapun tanpa berpikir dua kali bila ada sedikit saja kebingungan dengan yang namanya perkuliahan kami akan menjadikanmu orang yang kami pikirkan untuk pertama kalinya, bahkan hingga kini kita semua siap menghadapi kelulusan.
Seperti kemarin, saat semuanya dimulai dengan kekalutan teman sekelasmu, lantaran Date Line tugas yang sudah didepan mata, sementara hasil upaya mereka semua masih jauh dari kata selesai. Maka seperti yang sudah sudah, mereka mendatangimu, meminta bantuanmu, tanpa mencoba mengerti apa isi hatimu.
Sorry, gua nggak akan bisa banyak bantu kali ini.” Katamu kemarin, saat mereka mengutarakan permintaannya padamu, sebenarnya cukup tegas andai hal itu dimengerti sebagai sebuah penolakan.
“Ayolah, bisa bisa kita kudu ngulang tahun depan nih, kalo sampe kayak gitu batal deh lulus tahun ini!” pinta mereka lagi sedikit memaksa. “Lu cuma perlu bikinin satu aja formulanya di excel buat kita semua dari kerjaan lu sendiri. Biar nanti kita tinggal edit sesuai data tugas kita masing masing, ya?” lanjutnya. Dan tanpa perlu diragukan semua teman teman kita mendukung usulan tolol dan egois itu.
Lalu air matamu mulai membeningkan sinar di sepasang mata elangmu. Untuk pertama kalinya kami melihat wajah innocentmu mengeras.
“Cuma kalian bilang?” tuntutmu getir, “Kalo emang sesimpel itu, kenapa nggak kalian bikin sendiri aja?” suaramu mulai terdengar meninggi. “Gua ini bukan buku pintar atau catatan materi kuliah, otak gua bukan kamus atau program analisis komputer. Gua juga punya batasan bisa dan nggak bisa. Jangan seenaknya aja minta tolong dan mikir gua bisa segalanya!”
Hening. Pernyataanmu menyadarkan kami semua bahwa statementmu benar adanya.
“Kalo emang kalian nggak bisa, kenapa baru sekarang ngotot berusaha nyelesein semuanya? Andai dari kemaren kemaren, kalian masih punya waktu buat pelajarin dan nyoba bikin sama sama formula excel yang kalian bilang cuma itu. Bukan salah gua kalo kalian males dan terancam ngulang mata kuliah ini tahun depan dan batal lulus tahun ini. Kalian aja yang pecundang.”
Aku bahkan tak akan melupakan setiap rangkaian kata menyakitkan yang berbondong bondong meluncur dari mulutmu yang biasanya melepaskan kalimat penyemangat yang menyenangkan, yang melumpuhkan selusin lebih teman teman kita sebelum kamu berjingkat pergi membawa seluruh kemarahanmu.
Lalu aku mengejarmu. Dan melihatmu untuk pertama kalinya menangis demi melepaskan semua rasa marahmu.
Aku tak tahan untuk tak memelukmu. Beruntung kamu tak menolakku meski selama ini kita tak pernah lebih dekat dari sekedar teman sejurusan.
Kamu menerima uluran tanganku. Melepaskan seluruh kekecewaanmu atas perlakuan teman temanmu dipundakku.
Katamu kamu lelah. Menjadi yang terlalu diandalkan banyak orang. Dan kamu memang begitu adanya. Diandalkan dan dipercaya bisa segala bukan oleh hanya teman teman kita saja, bahkan para dosen dan jurusan lain pun tak jarang mencarimu, memintamu membantu untuk hal hal yang tak bisa mereka lakukan sendiri sementara kamu entah bagaimana selalu bisa.
Katamu kamu bosan. Dianggap sebagai orang yang berkemampuan dan dilirik banyak orang dengan tatapan ramah dan penuh maksud permohonan, sekaligus dengan sendirinya karena predikat serba mampumu itu jadi yang ditabukan saat dirimu butuh bantuan.
Dan katamu kamu takut, semakin lama kamu tak bisa membendung pikiran burukmu pada seluruh orang orang disekelilingmu yang perlahan mulai terlihat sebagai para pencari kesempatan untuk memanfaatkan kedekatan mereka denganmu, memanfaatkanmu.
Aku ingin sekali bisa kembali menenangkanmu. Seperti pagi.
“Are you ok?” tanyaku akhirnya.
“Gua yang harusnya nanya gitu.” Katamu, “Lu kenapa?”
“Apanya?”
“Muka lu tegang gitu.” Katamu, melepaskan diri dari pelukanku yang sudah sejak semalam sebelum kamu terbuai mimpi sepanjang malammu hingga awal pagimu beberapa saat lalu.
Aku tak rela melepaskanmu.
“Apaan sih lu?” protesmu, tapi tetap tak bisa menjauh dariku.
Calm down!” kataku, “Gua nggak akan macem macem. Dari kemaren juga nggak, kan?”
Senyummu merekah indah. Rupanya kamu telah kembali pada dirimu yang sebelum kejadian tak terduga kemarin.
“Lu kaget ngelihat gua kemaren?” tanyamu.
“Ya, pastinya. Sosok malaikat yang gua tahu sejak lama dalam hitungan detik berubah jadi devil bertanduk runcing, bersayap item dan berekor api.”
“Lebay!” tawa gelimu mengambang di udara. Aku tak bisa menahan kepuasan diriku karena mengenalmu.
“Syukurlah semalem lu marah. Dengan kayak gitu, semoga mereka ngerti dan berhenti nyusahin lu terus terusan. Bisa bisa mereka minta tolong soal skripsi mereka ntarnya. Bisa susah lu, nggak ada untungnya.”
Senyummu kembali terukir, tapi lebih kaku kali ini. Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan karena kalimat kalimat terakhirku.
“Tapi jujur, gua nggak nyangka lu bisa kayak kemaren.”
“Gua juga.” Katamu serius, “Gua nggak habis pikir, kok bisa bisanya gua sekonyol dan setolol kemaren. Gua pasti bakalan dikira orang aneh yang emosian dan sok penting sama mereka.” Lanjutmu geli.
Aku mengangguk setuju, “Bisa jadi.” Kataku, “Tapi tenang aja, gua nggak akan jadi salah satunya. Tapi itu cuma kalo gua ngerti alesan lu marah kemaren.”
“Nggak tahu, mungkin karena gua lagi banyak pikiran aja.”
“Galau maksudnya?”
Kamu mengangguk anggukan kepalamu beberapa kali agak cepat, lalu menyeringai lebar.
“Wajar kalo gitu.”
“Mungkin banget kan? Gua jadi marah marah biarpun sebenernya nggak beralasan.”
“Ya.” Kataku.
Memang mungkin jika kemarahanmu sekedar hal tak beralasan lantaran dorongan buruknya suasana hatimu yang sudah sewajarnya tak selalu bagus. Tapi bukan tak mungkin juga, kemarahanmu justru adalah hal paling beralasan kuat yang pernah ada dari seluruh kemarahan beralasan yang kutemui. Dan bila hal itu benar adanya kemarahanmu kemarin mungkin adalah caramu lulus dari dirimu sendiri. Lulus dari tekanan menjadi yang selalu disebut bertalenta dan selalu diandalkan.
Maka aku putuskan, aku akan mendampingimu setelah kelulusanmu ini. Mungkin sebagai caraku lulus dari diriku sendiri. Tekanan menjadi hanya seorang pemerhati dirimu.

Kamis, 16 Mei 2013

Considered - Unconsidervable



Senyummu selalu terlihat penuh percaya diri. Kamu tampan. Otakmu cerdas. Dan orang tuamu kaya. Aku tak bisa sama sekali menemukan potensi ketidak sempurnaan dari dirimu, benar benar tak ada harapan.
Aku selalu menahan perasaanku. Kepalaku ragu ragu bila mendongak menantang dunia. Tawaku merdu namun tak bermakna bila sekelilingku bahagia. Dan bagimu mungkin akulah orang paling suram di dunia.
Aku bertahan jatuh cinta padamu entah sudah berapa lama. Dan kamu meniadakan keberadaanku sejak pertama. Dunia ini, bagi kita, bila tentang kita, dimata kita tentunya benar benar gila. Kamu berfikir bagaimana mungkin aku tetap pada pemujaanku padamu sedangkan kamu tak sekali pun mau tahu. Dan aku ingin tahu, kapankah pandanganmu akan berubah padaku dan mengadakan aku yang sebelumnya selama ini selalu kau berusaha untuk abaikan bahkan enyahkan.
“Yang!” panggilnya dari ambang pintu kamarku, aku bergegas mengantongi potret senyummu meski aku tahu dia mungkin saja melihatku tadi sedang memandangimu.
“Kenapa diumpetin?” tanyanya lagi seraya merangkulku dari belakang.
“Nggak diumpetin kok.” Jawabku singkat. Berdusta. Tak berdusta pula. Pria dibelakangku tahu pasti siapa kamu, seperti aku tahu pasti siapa kekasihnya. Maka bila dia memanggilku dengan kata sayang, aku sama sekali tak terbebani tetap memikirkanmu saat bersamanya karena aku hanya bernilai sebatas beguna baginya, bukan kecintaan seperti kamu untukku.
“Terus kenapa buru buru ditaro gitu?” tuntutnya.
“Nggak kenapa? Ya di taro aja.”
“Hmmh.” Gumamannya yang entah bermakna apa menghilang saat wajahnya menempel di bahu telanjangku. Dia dengan cueknya mencumbu kulit di sekitar leherku biasanya hingga rona merah tipis berbekas dengan jelas.
Aku tak mampu bereaksi kecuali diam membiarkannya berhenti sendiri.
“Ada gawean yang nggak bisa gua selesein sendiri. Bantuin ya?” katanya lagi setelah dia melepaskanku dan rangkulan kedua tangannya.
Aku mengiyakan seperti yang sudah sudah.
Entah kenapa, aku selalu dimintai bantuan meski kadang aku merasa tak benar benar berkemampuan. Dia dan orang orang lain yang mendekatiku selalu berfikir keberadaanku berguna meski kadang aku tak berani memberikan penghargaan pada diriku sendiri karena takut terlalu tinggi untuk disebut berguna. Herannya, banyak orang mengakuiku meski aku belum bisa benar benar menganggap aku menyukai diriku.
“Ini tattoo klien gua yang tadi sore dateng.” Katanya seraya menunjukan selembar foto belikat berkulit putih yang bertatto gaya tribal oldschool. “Dia pengen cover up, tapi konsepnya tetep tribal.”
Aku mengernyit mendengar lanjutannya.
“Katanya dia udah mentok mikirin konsep yang mungkin di pake, gua sendiri nggak kepikiran gimana ngecover up yang kayak ginian tapi dengan konsep tribal lagi.”
Tentu saja, tattoo sebesar itu mau dimodifikasi seperti apalagi kalo dengan konsep yang sama. Andai tattoo sebelumnya jauh lebih kecil tentunya masih bisa diusahakan dengan ukuran diperlebar, tapi seluruh kulit belikat itu telah penuh oleh goresan hitam tebal harmonis. Memang apa yang bisa dilakukan oleh tribal lagi untuk menutupinya.
“Kenapa nggak potret atau yang lainnya?” tanyaku.
“Dia bilang nggak pengen potret dan nggak mau warna. Malah dia bilang bikinin gaya gaya samoan atau polinesian aja.”
“Segede gitu lagi?”
“Kiri kanan boleh, asal jangang fullback aja.”
Aku mengacak acak folder konsepku, mencari konsep yang saat ini terpikir olehku. Seperti salah satu syaratnya, polinesian konsep. Simple, cukup besar dan tanpa warna tentu saja.
Aku menyerahkan selembar kertas bergambar konsep pada pria murung dihadapanku ini.
Pria itu mengernyit. “Kalo kayak gini ntar tabrakan sama gambar lama.” Keluhnya.
“Ilangin aja gambar lamanya. Gambar ini cukup lebar kesegala arah. Cukup cocok kalo kata gua. Tinta putih di kulitnya nggak bakalan kentara, anggap aja black and grey, yang penting nggak berwarna kan?”
“Tapi mintanya satu warna.”
“Lu pede nggak sih jadi artis tattoo, Ka. Bilang aja lu bakal kasih yang terbaik buat dia, suruh dia percaya sama lu atau cari aja artis yang lain yang pastinya bakalan punya ide sama kayak lu, alias kayak gua.”
“Hmmh!” gumamnya.
“Lagian tuh orang bego, Tattoo bagus gitu mo diilangin.”
“Kata dia gambarnya ngebosenin.”
“Menurut gua nggak tuh, tattoo dia punya makna lebih dalem dari sekedar gambarnya, cewek itu Cuma ngerti trend aja sih, nggak mau ngulik sejarahnya. Besok saat lu tattoo dia, lu jelasin deh, gambar barunya itu ngandung symbol yang diambil dari orang orang polinesia tentang kepercayaan mereka sama agama mereka, keyakinan akan ketuhanan dan kepatuhan pada tuhannya itu. Sementara tattoo lamanya. Adalah lambang cewek suci Samoa. Nggak pantes sama sekali di bilang ngebosenin.”
Pria itu tersenyum tipis syarat ejekan.
“Kenapa? Lu sendiri harusnya bisa ngemaknainya. Ngemaknai diri dan aspek dalam profesi pilhan lu.” Kataku lagi.
Makna memang hal yang terlupakan pada saat ini. Segala sesuatunya, kini hampir hanya dinilai dari penampilannya, caranya terlihat. Pantas atau tidaknya, benar atau tidaknya kini benar benar ditentukan oleh kesan dimata. Alasan, nilai moral pelaku, pemicu, atau pendorong kalah telak oleh nilai pandangan. Seperti aku dan kamu yang selamanya akan selalu terlihat tak pantas. Bahkan dimatamu sekali pun.
Aku sendiri menganggap hal itu sama saja, kamu tak sedikit pun bernilai tinggi bila bersamaku, apalagi aku jika bersamamu. Tak peduli seberapa banyaknya orang yang datang dan mengatakan mereka membutuhkan bantuanku, kamu pasti tak akan jadi salah satu dari mereka, dan itu artinya aku tak berharga bagimu, malah mungkin tak berguna. Padahal seharusnya, pantas itu berarti bermanfaat, sebagai pemicu, pendorong atau sekedar hanya pendukung.
Maka aku hanya bisa menjalani sisa maknaku sebagai pengharap perubahanmu.
“Gua manut.” Katanya, “Sayang banget deh gua sama lu, yang! Nggak ada argue gua yang bisa ngalahin lu. Selalu.” Lanjutnya. “Cuma lu yang nggak bisa gua kalahin.”
“Bullshit.” Dengusku, “Bukannya lu takut setengah mati sama cewek lu.”
Dia tersenyum, “Ya, gua emang takut sama dia. Gua takut kehilangan dia karena gua yang pengen dia hilang.”
“Maksud lu?”
“Gua lebih takut sama lu.”
Aku mengerling malas padanya. tak ada alasan untuk percaya kata katanya.
"Serius, yang." katanya lagi, “Gua takut pengen milikin lu karena lu terlalu berharga buat nggak dimilikin, sementara lu nggak pernah pengen seutuhnya gua milikin.”
Dia tersenyum datar. Penuh makna. Yang tak pernah ku tahu ada selama ini. Makna yang mengandung alasan, pemicu, sekaligus pendorong penyesalanku.
Aku masih memikirkanmu yang mungkin masih belum mengingatku. Penghargaan yang terlihat sama sekali tak berharga.