elastoplastis
Kamis, 12 September 2013
Minggu, 02 Juni 2013
Graduation
Pipi chubbymu yang membuatmu terlihat lebih muda
dariku meski sebenarnya malah sebaliknya tampak lebih menggelembung saat kamu
dalam keadaan pulas seperti ini. Wajahmu rupanya bisa terlihat lebih polos dari
kepolosanmu sehari sehari yang membuatku secara mutlak jatuh hati padamu meski
tak pernah lulus menyatakannya langsung padamu. Karenanya, aku sama sekali tak
pernah menduga sebelumnya akan bisa melihatmu yang seperti ini.
Andai kemarin hal itu tak terjadi, kondisi ini pun mungkin
tak akan terjadi.
Makanya, meski aku merasa terluka melihat air mata dan
amarahmu, aku juga bersyukur kekecewaan dan rasa kesalmu meluap dan tumpah ruah
semalam.
Perlahan matamu terbuka saat kuusapkan jemariku diwajahmu.
“Morning, Sunshine!” sapaku pelan, senyumku kaku meski rasa
senang bersarang dihatiku.
Kamu tersenyum sama kakunya. Tapi tetap manis seperti yang
telah kukenali sejak awal aku mengenalmu. Jauh berbeda dengan kekelaman
ekspresimu kemarin.
Sungguh tak akan pernah bisa aku lupakan kobaran amarah
dimatamu yang membakar semua teman teman kita yang selama ini selalu
mempercayai dan mengandalkan kemampuanmu.
Mereka pun, yang baru pertama kalinya melihat kemarahanmu
yang mentransformasimu menjadi seorang gadis kasar dan sangar tampak tak
mempercayai mata mereka sendiri yang biasanya memperlihatkan dirimu yang selalu
penuh kesabaran dan kebaikan hati kala mereka mendatangimu dan menyusahkanmu
dengan permintaan bantuan dalam perkuliahan mereka.
Kamu memang selalu, dengan penuh ketulusan membimbing teman
teman kita juga aku sendiri bila kami semua datang padamu saat kami kesulitan
dengan segala tugas yang kami dapatkan, hingga kami tak pernah gagal
menyelesaikan segala sesuatunya.
Dan kami juga, selalu mejadikanmu kartu truf kami, bila
ketidak mampuan telah mulai dirasakan. Bahkan, aku menyadari sepenuhnya, aku,
mungkin juga yang lainnya datang padamu dan dengan egoisnya menyusahkanmu bila
rasa malas mulai hadir tak peduli sebenarnya tanpamu pun kami bisa sendiri.
Keberadaanmu sepertinya memang berarti seperti itu. Sosokmu
yang pemerhati dan penuh kepedulian, membuat kami semua nyaman meminta banyak
hal yang melibatkan daya pikir dan kemampuan nalar darimu. Kepandaian dan
kepintaran otakmu dalam hampir segala bidang di dunia yang kita geluti ini,
membuat kami semua berpikir, kamu selalu mampu dan bisa segalanya.
Eksistensimu yang selalu syarat akan kesediaan hati dan ketulusanmu,
malah pada akhirnya membuat kami lupa kamu hanya gadis biasa yang bisa juga
merasa lelah, jenuh dan jengah. Hingga diwaktu seperti apapun, di tempat seperti
apapun dan dikondisi macam apapun tanpa berpikir dua kali bila ada sedikit saja
kebingungan dengan yang namanya perkuliahan kami akan menjadikanmu orang yang
kami pikirkan untuk pertama kalinya, bahkan hingga kini kita semua siap
menghadapi kelulusan.
Seperti kemarin, saat semuanya dimulai dengan kekalutan
teman sekelasmu, lantaran Date Line tugas yang sudah didepan mata, sementara
hasil upaya mereka semua masih jauh dari kata selesai. Maka seperti yang sudah
sudah, mereka mendatangimu, meminta bantuanmu, tanpa mencoba mengerti apa isi
hatimu.
“Sorry, gua nggak akan bisa banyak bantu kali ini.”
Katamu kemarin, saat mereka mengutarakan permintaannya padamu, sebenarnya cukup
tegas andai hal itu dimengerti sebagai sebuah penolakan.
“Ayolah, bisa bisa kita kudu ngulang tahun depan nih, kalo
sampe kayak gitu batal deh lulus tahun ini!” pinta mereka lagi sedikit memaksa.
“Lu cuma perlu bikinin satu aja formulanya di excel buat kita semua dari
kerjaan lu sendiri. Biar nanti kita tinggal edit sesuai data tugas kita masing
masing, ya?” lanjutnya. Dan tanpa perlu diragukan semua teman teman kita mendukung
usulan tolol dan egois itu.
Lalu air matamu mulai membeningkan sinar di sepasang mata
elangmu. Untuk pertama kalinya kami melihat wajah innocentmu mengeras.
“Cuma kalian bilang?” tuntutmu getir, “Kalo emang sesimpel
itu, kenapa nggak kalian bikin sendiri aja?” suaramu mulai terdengar meninggi.
“Gua ini bukan buku pintar atau catatan materi kuliah, otak gua bukan kamus
atau program analisis komputer. Gua juga punya batasan bisa dan nggak bisa.
Jangan seenaknya aja minta tolong dan mikir gua bisa segalanya!”
Hening. Pernyataanmu menyadarkan kami semua bahwa statementmu
benar adanya.
“Kalo emang kalian nggak bisa, kenapa baru sekarang ngotot
berusaha nyelesein semuanya? Andai dari kemaren kemaren, kalian masih punya
waktu buat pelajarin dan nyoba bikin sama sama formula excel yang kalian bilang
cuma itu. Bukan salah gua kalo kalian males dan terancam ngulang mata kuliah
ini tahun depan dan batal lulus tahun ini. Kalian aja yang pecundang.”
Aku bahkan tak akan melupakan setiap rangkaian kata
menyakitkan yang berbondong bondong meluncur dari mulutmu yang biasanya
melepaskan kalimat penyemangat yang menyenangkan, yang melumpuhkan selusin
lebih teman teman kita sebelum kamu berjingkat pergi membawa seluruh
kemarahanmu.
Lalu aku mengejarmu. Dan melihatmu untuk pertama kalinya
menangis demi melepaskan semua rasa marahmu.
Aku tak tahan untuk tak memelukmu. Beruntung kamu tak
menolakku meski selama ini kita tak pernah lebih dekat dari sekedar teman
sejurusan.
Kamu menerima uluran tanganku. Melepaskan seluruh
kekecewaanmu atas perlakuan teman temanmu dipundakku.
Katamu kamu lelah. Menjadi yang terlalu diandalkan banyak
orang. Dan kamu memang begitu adanya. Diandalkan dan dipercaya bisa segala
bukan oleh hanya teman teman kita saja, bahkan para dosen dan jurusan lain pun
tak jarang mencarimu, memintamu membantu untuk hal hal yang tak bisa mereka
lakukan sendiri sementara kamu entah bagaimana selalu bisa.
Katamu kamu bosan. Dianggap sebagai orang yang berkemampuan
dan dilirik banyak orang dengan tatapan ramah dan penuh maksud permohonan,
sekaligus dengan sendirinya karena predikat serba mampumu itu jadi yang
ditabukan saat dirimu butuh bantuan.
Dan katamu kamu takut, semakin lama kamu tak bisa membendung
pikiran burukmu pada seluruh orang orang disekelilingmu yang perlahan mulai
terlihat sebagai para pencari kesempatan untuk memanfaatkan kedekatan mereka
denganmu, memanfaatkanmu.
Aku ingin sekali bisa kembali menenangkanmu. Seperti pagi.
“Are you ok?” tanyaku akhirnya.
“Gua yang harusnya nanya gitu.” Katamu, “Lu kenapa?”
“Apanya?”
“Muka lu tegang gitu.” Katamu, melepaskan diri dari
pelukanku yang sudah sejak semalam sebelum kamu terbuai mimpi sepanjang malammu
hingga awal pagimu beberapa saat lalu.
Aku tak rela melepaskanmu.
“Apaan sih lu?” protesmu, tapi tetap tak bisa menjauh
dariku.
“Calm down!” kataku, “Gua nggak akan macem macem.
Dari kemaren juga nggak, kan?”
Senyummu merekah indah. Rupanya kamu telah kembali pada
dirimu yang sebelum kejadian tak terduga kemarin.
“Lu kaget ngelihat gua kemaren?” tanyamu.
“Ya, pastinya. Sosok malaikat yang gua tahu sejak lama dalam
hitungan detik berubah jadi devil bertanduk runcing, bersayap item dan
berekor api.”
“Lebay!” tawa gelimu mengambang di udara. Aku tak bisa
menahan kepuasan diriku karena mengenalmu.
“Syukurlah semalem lu marah. Dengan kayak gitu, semoga
mereka ngerti dan berhenti nyusahin lu terus terusan. Bisa bisa mereka minta
tolong soal skripsi mereka ntarnya. Bisa susah lu, nggak ada untungnya.”
Senyummu kembali terukir, tapi lebih kaku kali ini. Aku tak
tahu apa yang kamu pikirkan karena kalimat kalimat terakhirku.
“Tapi jujur, gua nggak nyangka lu bisa kayak kemaren.”
“Gua juga.” Katamu serius, “Gua nggak habis pikir, kok bisa
bisanya gua sekonyol dan setolol kemaren. Gua pasti bakalan dikira orang aneh
yang emosian dan sok penting sama mereka.” Lanjutmu geli.
Aku mengangguk setuju, “Bisa jadi.” Kataku, “Tapi tenang
aja, gua nggak akan jadi salah satunya. Tapi itu cuma kalo gua ngerti alesan lu
marah kemaren.”
“Nggak tahu, mungkin karena gua lagi banyak pikiran aja.”
“Galau maksudnya?”
Kamu mengangguk anggukan kepalamu beberapa kali agak cepat,
lalu menyeringai lebar.
“Wajar kalo gitu.”
“Mungkin banget kan? Gua jadi marah marah biarpun sebenernya
nggak beralasan.”
“Ya.” Kataku.
Memang mungkin jika kemarahanmu sekedar hal tak beralasan
lantaran dorongan buruknya suasana hatimu yang sudah sewajarnya tak selalu
bagus. Tapi bukan tak mungkin juga, kemarahanmu justru adalah hal paling beralasan
kuat yang pernah ada dari seluruh kemarahan beralasan yang kutemui. Dan bila
hal itu benar adanya kemarahanmu kemarin mungkin adalah caramu lulus dari
dirimu sendiri. Lulus dari tekanan menjadi yang selalu disebut bertalenta dan
selalu diandalkan.
Maka aku putuskan, aku akan mendampingimu setelah kelulusanmu
ini. Mungkin sebagai caraku lulus dari diriku sendiri. Tekanan menjadi hanya
seorang pemerhati dirimu.
Kamis, 16 Mei 2013
Considered - Unconsidervable
Senyummu selalu terlihat penuh percaya
diri. Kamu tampan. Otakmu cerdas. Dan orang tuamu kaya. Aku tak bisa sama
sekali menemukan potensi ketidak sempurnaan dari dirimu, benar benar tak ada
harapan.
Aku selalu menahan perasaanku. Kepalaku
ragu ragu bila mendongak menantang dunia. Tawaku merdu namun tak bermakna bila
sekelilingku bahagia. Dan bagimu mungkin akulah orang paling suram di dunia.
Aku bertahan jatuh cinta padamu entah sudah
berapa lama. Dan kamu meniadakan keberadaanku sejak pertama. Dunia ini, bagi
kita, bila tentang kita, dimata kita tentunya benar benar gila. Kamu berfikir
bagaimana mungkin aku tetap pada pemujaanku padamu sedangkan kamu tak sekali
pun mau tahu. Dan aku ingin tahu, kapankah pandanganmu akan berubah padaku dan
mengadakan aku yang sebelumnya selama ini selalu kau berusaha untuk abaikan
bahkan enyahkan.
“Yang!” panggilnya dari ambang pintu kamarku,
aku bergegas mengantongi potret senyummu meski aku tahu dia mungkin saja
melihatku tadi sedang memandangimu.
“Kenapa diumpetin?” tanyanya lagi seraya
merangkulku dari belakang.
“Nggak diumpetin kok.” Jawabku singkat.
Berdusta. Tak berdusta pula. Pria dibelakangku tahu pasti siapa kamu, seperti
aku tahu pasti siapa kekasihnya. Maka bila dia memanggilku dengan kata sayang,
aku sama sekali tak terbebani tetap memikirkanmu saat bersamanya karena aku
hanya bernilai sebatas beguna baginya, bukan kecintaan seperti kamu untukku.
“Terus kenapa buru buru ditaro gitu?”
tuntutnya.
“Nggak kenapa? Ya di taro aja.”
“Hmmh.” Gumamannya yang entah bermakna apa
menghilang saat wajahnya menempel di bahu telanjangku. Dia dengan cueknya
mencumbu kulit di sekitar leherku biasanya hingga rona merah tipis berbekas
dengan jelas.
Aku tak mampu bereaksi kecuali diam
membiarkannya berhenti sendiri.
“Ada gawean yang nggak bisa gua selesein
sendiri. Bantuin ya?” katanya lagi setelah dia melepaskanku dan rangkulan kedua
tangannya.
Aku mengiyakan seperti yang sudah sudah.
Entah kenapa, aku selalu dimintai bantuan
meski kadang aku merasa tak benar benar berkemampuan. Dia dan orang orang lain
yang mendekatiku selalu berfikir keberadaanku berguna meski kadang aku tak
berani memberikan penghargaan pada diriku sendiri karena takut terlalu tinggi
untuk disebut berguna. Herannya, banyak orang mengakuiku meski aku belum bisa
benar benar menganggap aku menyukai diriku.
“Ini tattoo klien gua yang tadi sore
dateng.” Katanya seraya menunjukan selembar foto belikat berkulit putih yang
bertatto gaya tribal oldschool. “Dia pengen cover up, tapi konsepnya tetep
tribal.”
Aku mengernyit mendengar lanjutannya.
“Katanya dia udah mentok mikirin konsep
yang mungkin di pake, gua sendiri nggak kepikiran gimana ngecover up yang kayak
ginian tapi dengan konsep tribal lagi.”
Tentu saja, tattoo sebesar itu mau
dimodifikasi seperti apalagi kalo dengan konsep yang sama. Andai tattoo
sebelumnya jauh lebih kecil tentunya masih bisa diusahakan dengan ukuran
diperlebar, tapi seluruh kulit belikat itu telah penuh oleh goresan hitam tebal
harmonis. Memang apa yang bisa dilakukan oleh tribal lagi untuk menutupinya.
“Kenapa nggak potret atau yang lainnya?”
tanyaku.
“Dia bilang nggak pengen potret dan nggak
mau warna. Malah dia bilang bikinin gaya gaya samoan atau polinesian aja.”
“Segede gitu lagi?”
“Kiri kanan boleh, asal jangang fullback
aja.”
Aku mengacak acak folder konsepku, mencari
konsep yang saat ini terpikir olehku. Seperti salah satu syaratnya, polinesian
konsep. Simple, cukup besar dan tanpa warna tentu saja.
Aku menyerahkan selembar kertas bergambar
konsep pada pria murung dihadapanku ini.
Pria itu mengernyit. “Kalo kayak gini ntar
tabrakan sama gambar lama.” Keluhnya.
“Ilangin aja gambar lamanya. Gambar ini
cukup lebar kesegala arah. Cukup cocok kalo kata gua. Tinta putih di kulitnya
nggak bakalan kentara, anggap aja black and grey, yang penting nggak berwarna
kan?”
“Tapi mintanya satu warna.”
“Lu pede nggak sih jadi artis tattoo, Ka.
Bilang aja lu bakal kasih yang terbaik buat dia, suruh dia percaya sama lu atau
cari aja artis yang lain yang pastinya bakalan punya ide sama kayak lu, alias
kayak gua.”
“Hmmh!” gumamnya.
“Lagian tuh orang bego, Tattoo bagus gitu
mo diilangin.”
“Kata dia gambarnya ngebosenin.”
“Menurut gua nggak tuh, tattoo dia punya makna
lebih dalem dari sekedar gambarnya, cewek itu Cuma ngerti trend aja sih, nggak
mau ngulik sejarahnya. Besok saat lu tattoo dia, lu jelasin deh, gambar barunya
itu ngandung symbol yang diambil dari orang orang polinesia tentang kepercayaan
mereka sama agama mereka, keyakinan akan ketuhanan dan kepatuhan pada tuhannya
itu. Sementara tattoo lamanya. Adalah lambang cewek suci Samoa. Nggak pantes
sama sekali di bilang ngebosenin.”
Pria itu tersenyum tipis syarat ejekan.
“Kenapa? Lu sendiri harusnya bisa
ngemaknainya. Ngemaknai diri dan aspek dalam profesi pilhan lu.” Kataku lagi.
Makna memang hal yang terlupakan pada saat
ini. Segala sesuatunya, kini hampir hanya dinilai dari penampilannya, caranya
terlihat. Pantas atau tidaknya, benar atau tidaknya kini benar benar ditentukan
oleh kesan dimata. Alasan, nilai moral pelaku, pemicu, atau pendorong kalah
telak oleh nilai pandangan. Seperti aku dan kamu yang selamanya akan selalu
terlihat tak pantas. Bahkan dimatamu sekali pun.
Aku sendiri menganggap hal itu sama saja,
kamu tak sedikit pun bernilai tinggi bila bersamaku, apalagi aku jika
bersamamu. Tak peduli seberapa banyaknya orang yang datang dan mengatakan
mereka membutuhkan bantuanku, kamu pasti tak akan jadi salah satu dari mereka,
dan itu artinya aku tak berharga bagimu, malah mungkin tak berguna. Padahal
seharusnya, pantas itu berarti bermanfaat, sebagai pemicu, pendorong atau
sekedar hanya pendukung.
Maka aku hanya bisa menjalani sisa maknaku
sebagai pengharap perubahanmu.
“Gua manut.” Katanya, “Sayang banget deh
gua sama lu, yang! Nggak ada argue gua yang bisa ngalahin lu. Selalu.”
Lanjutnya. “Cuma lu yang nggak bisa gua kalahin.”
“Bullshit.” Dengusku, “Bukannya lu takut
setengah mati sama cewek lu.”
Dia tersenyum, “Ya, gua emang takut sama
dia. Gua takut kehilangan dia karena gua yang pengen dia hilang.”
“Maksud lu?”
“Gua lebih takut sama lu.”
Aku mengerling malas padanya. tak ada alasan untuk percaya kata katanya.
"Serius, yang." katanya lagi, “Gua takut pengen milikin lu karena lu
terlalu berharga buat nggak dimilikin, sementara lu nggak pernah pengen
seutuhnya gua milikin.”
Dia tersenyum datar. Penuh makna. Yang tak
pernah ku tahu ada selama ini. Makna yang mengandung alasan, pemicu, sekaligus
pendorong penyesalanku.
Aku masih memikirkanmu yang mungkin masih
belum mengingatku. Penghargaan yang terlihat sama sekali tak berharga.
Langganan:
Postingan (Atom)