Jumat, 22 Maret 2013

T E (R R) O R I T Y

“Semalam ini,  apa yang bikin lu masih bangun?” tanyamu. Aku tersenyum sedikit saja, “Apa? Malah senyum!” protesmu, gemas dan menggemaskan.

“Lu.” Jawabku pelan, tanpa ragu pada jawabanku.

“Kenapa gua, apa yang salah?” suaramu menunjukan betapa geregetnya kamu padaku.

Aku hanya bisa tersenyum lagi.

Tak ada yang salah darimu, justru aku. Akulah yang salah karena tak pernah bisa menentukan kapan aku rehat dari aktifitas memikirkanmu.

“Dasar payah!” katamu dengan gemas membelai kepalaku hingga tatanan rambutku mungkin saja berantakan, lalu kamu memelukku dan kusandarkan kepalaku dalam dekapan lebarmu. Sebuah jaminan keamanan, pikirku selalu.

Aku memeluk selimut lebih erat, menarik ujungnya tinggi tinggi hingga bisa kukepit diantara ketiakku. Tapi aku tak bisa memelukmu, karena aku telah kembali pada kesadaran bahwa kehadiranmu malam ini lagi lagi hanya aroma ilusi, hal yang suatu hari nanti masih belum pasti bisa terjadi atau sama sekali tak bisa terjadi.

Memang parasmu selalu hadir saat mataku terpejam, dan aromamu menggantikannya kala mataku terbuka lebar. Tapi, meski saat aku terjaga atau pun jauh terlelap, keberadaanmu tak pernah bernilai lebih dari ini saja.

Aku sejak lama telah kehilangan hatiku. Tak sengaja hatiku terkunci saat hari dimana kamu terlihat istimewa dimataku. Saat itu pula, dengan sendirinya hatiku beranjak pergi, sebagai isi sebuah kotak terkunci rapi yang kuncinya kamu bawa tanpa kamu ketahui, atau mungkin tahu tapi kamu tak peduli.

Sampai hari ini aku merasa tersakiti dengan keadaan ini, dengan rasa sepi dan sedikit sikap penyalahan diri yang sulit diusir pergi.

Mungkin saja kamu tak menyadari bahwa sering sekali aku berharap kamu akan membuka kunci yang mengungkung hati ini, juga untuk kumiliki. Atau, bila kamu memang tak inginkan hati ini untuk kamu miliki sendiri, setidaknya tolong kembalikan hatiku agar yang lain yang memiliki.

Sayangnya, tak ada satu pun yang terkabul hingga hari ini. Aku tetap memikirkanmu sepanjang peredaran waktu, dan kamu pun tetap hanya visualisasi harapan sepanjang usia remaja hingga dewasaku.

Saat ini, setulus hati telah kuterima kenyataan bahwa cintaku bukanlah salah satu cerita cinta dengan kondisi bahagia. Cintaku hanya sebuah tindak kecerobohan dan satu nilai kesalahan.

Dengan sepenuh hati juga kuakui, dengan segala sisi negatif rasa yang kumiliki itulah aku dapat bertahan, terus menarik nafas, juga menghembuskannya, berulang, berulang, dan terus berulang.

Selama ini begitulah caraku hidup. As a winner by you, as a looser so by you.

Mungkin saja akusudah tak lagi waras. Menganggap kamu sebagai pemberi motifasi, inspirasi juga rasa rendah diri sekaligus, bersamaan atau beruntunan.

Bisa jadi aku hanya seorang mesokis lebay yang merasa berbahagia saat aku mendera hatiku dengan dambaan yang terlampau tinggi kepadamu yang bisa membuatku menangis sendiri hingga berhari hari.

Secara logika, aku mutlak berfikir menguburkan harapan tentangmu adalah pembebasan yang paling aku tunggu. Tapi nuraniku menentang dengan terror argumentasi bahwa berhenti menyanjungimu dengan hati berarti hilangnya banyak alasan bagiku untuk terus hidup dengan pantas.

“Belum bisa tidur juga?” jemarimu membelai lenganku, dan kurasakan bibirmu yang menempel di pelipisku. “Mikirin apa, hmmh?” kali ini tegas suara lembutmu menuntutku memberi jawaban yang sejak tadi kuhindarkan.

“Hati itu sepasang, kan? Berarti cinta juga sepasang. Gua bener, kan?” tanyaku, keningmu berkerut tegas. “Sesuatu yang tercipta sepasang itu mungkin tak sama tapi pasti serasi, tak selalu bersamaan tapi harusnya setujuan, dan kalo satunya hilang yang lain akan jadi tak berarti.”

“Lantas?”

“Gua punya satu hati, bentuk dan isinya adalah lu. Harapan dan dambaannya adalah lu. Dan sampai hari ini rasanya nggak pernah damai karena adanya lu nanti masih jadi hal nggak pasti.” Jeda, aku, kamu juga tak bicara. Sesaat saja. “Hati gua dan cintanya udah kecetak kayak gitu dari beberapa tahun lalu.” Jelasku lagi, seperti sedang berceloteh, tanpa ragu ragu.

Jika tentang rasa cinta kepadamu aku memang tak pernah ragu. Sebanyak apapun orang yang berkata secara teori kamu tak mungkin untukku. Hati terdalamku tetap saja menterorku dengan keyakinan kamu memang untukku, seperti aku yang hanya untukmu.

Aku melihatmu mengernyit seolah ada bagian yang terasa linu.

“Kalo emang hati itu sepasang, maka, karena lu pembentuk wujud paten hati gua, gua juga harusnya jadi pembentuk hati lu. Bener nggak?”

Kamu tersenyum dan mengerlingkan matamu, terlihat seksi seperti yang selalu aku tahu.

Aku pun turut tersenyum dan mendekap balik dekapanmu.

Tak sepertimu, aku tak bisa menuntut jawaban, karena, meski aku bisa semauku memeluk bahkan bercinta denganmu, tapi bayanganmu yang tercipta dari imajinasiku ini tak akan bisa menjawab pertanyaanku juga cintaku.