“Semalam
ini, apa yang bikin lu masih bangun?”
tanyamu. Aku tersenyum sedikit saja, “Apa? Malah senyum!” protesmu, gemas dan
menggemaskan.
“Lu.”
Jawabku pelan, tanpa ragu pada jawabanku.
“Kenapa
gua, apa yang salah?” suaramu menunjukan betapa geregetnya kamu padaku.
Aku
hanya bisa tersenyum lagi.
Tak
ada yang salah darimu, justru aku. Akulah yang salah karena tak pernah bisa
menentukan kapan aku rehat dari aktifitas memikirkanmu.
“Dasar
payah!” katamu dengan gemas membelai kepalaku hingga tatanan rambutku mungkin
saja berantakan, lalu kamu memelukku dan kusandarkan kepalaku dalam dekapan
lebarmu. Sebuah jaminan keamanan, pikirku selalu.
Aku
memeluk selimut lebih erat, menarik ujungnya tinggi tinggi hingga bisa kukepit
diantara ketiakku. Tapi aku tak bisa memelukmu, karena aku telah kembali pada
kesadaran bahwa kehadiranmu malam ini lagi lagi hanya aroma ilusi, hal yang
suatu hari nanti masih belum pasti bisa terjadi atau sama sekali tak bisa terjadi.
Memang
parasmu selalu hadir saat mataku terpejam, dan aromamu menggantikannya kala
mataku terbuka lebar. Tapi, meski saat aku terjaga atau pun jauh terlelap,
keberadaanmu tak pernah bernilai lebih dari ini saja.
Aku
sejak lama telah kehilangan hatiku. Tak sengaja hatiku terkunci saat hari
dimana kamu terlihat istimewa dimataku. Saat itu pula, dengan sendirinya hatiku
beranjak pergi, sebagai isi sebuah kotak terkunci rapi yang kuncinya kamu bawa
tanpa kamu ketahui, atau mungkin tahu tapi kamu tak peduli.
Sampai
hari ini aku merasa tersakiti dengan keadaan ini, dengan rasa sepi dan sedikit
sikap penyalahan diri yang sulit diusir pergi.
Mungkin
saja kamu tak menyadari bahwa sering sekali aku berharap kamu akan membuka
kunci yang mengungkung hati ini, juga untuk kumiliki. Atau, bila kamu memang
tak inginkan hati ini untuk kamu miliki sendiri, setidaknya tolong kembalikan
hatiku agar yang lain yang memiliki.
Sayangnya,
tak ada satu pun yang terkabul hingga hari ini. Aku tetap memikirkanmu
sepanjang peredaran waktu, dan kamu pun tetap hanya visualisasi harapan
sepanjang usia remaja hingga dewasaku.
Saat
ini, setulus hati telah kuterima kenyataan bahwa cintaku bukanlah salah satu
cerita cinta dengan kondisi bahagia. Cintaku hanya sebuah tindak kecerobohan
dan satu nilai kesalahan.
Dengan
sepenuh hati juga kuakui, dengan segala sisi negatif rasa yang kumiliki itulah
aku dapat bertahan, terus menarik nafas, juga menghembuskannya, berulang,
berulang, dan terus berulang.
Selama
ini begitulah caraku hidup. As a winner
by you, as a looser so by you.
Mungkin
saja akusudah tak lagi waras. Menganggap kamu sebagai pemberi motifasi,
inspirasi juga rasa rendah diri sekaligus, bersamaan atau beruntunan.
Bisa
jadi aku hanya seorang mesokis lebay yang merasa berbahagia saat aku mendera
hatiku dengan dambaan yang terlampau tinggi kepadamu yang bisa membuatku menangis
sendiri hingga berhari hari.
Secara
logika, aku mutlak berfikir menguburkan harapan tentangmu adalah pembebasan
yang paling aku tunggu. Tapi nuraniku menentang dengan terror argumentasi bahwa
berhenti menyanjungimu dengan hati berarti hilangnya banyak alasan bagiku untuk
terus hidup dengan pantas.
“Belum
bisa tidur juga?” jemarimu membelai lenganku, dan kurasakan bibirmu yang
menempel di pelipisku. “Mikirin apa, hmmh?” kali ini tegas suara lembutmu
menuntutku memberi jawaban yang sejak tadi kuhindarkan.
“Hati
itu sepasang, kan? Berarti cinta juga sepasang. Gua bener, kan?” tanyaku,
keningmu berkerut tegas. “Sesuatu yang tercipta sepasang itu mungkin tak sama
tapi pasti serasi, tak selalu bersamaan tapi harusnya setujuan, dan kalo
satunya hilang yang lain akan jadi tak berarti.”
“Lantas?”
“Gua
punya satu hati, bentuk dan isinya adalah lu. Harapan dan dambaannya adalah lu.
Dan sampai hari ini rasanya nggak pernah damai karena adanya lu nanti masih
jadi hal nggak pasti.” Jeda, aku, kamu juga tak bicara. Sesaat saja. “Hati gua
dan cintanya udah kecetak kayak gitu dari beberapa tahun lalu.” Jelasku lagi,
seperti sedang berceloteh, tanpa ragu ragu.
Jika
tentang rasa cinta kepadamu aku memang tak pernah ragu. Sebanyak apapun orang
yang berkata secara teori kamu tak mungkin untukku. Hati terdalamku tetap saja
menterorku dengan keyakinan kamu memang untukku, seperti aku yang hanya
untukmu.
Aku
melihatmu mengernyit seolah ada bagian yang terasa linu.
“Kalo
emang hati itu sepasang, maka, karena lu pembentuk wujud paten hati gua, gua
juga harusnya jadi pembentuk hati lu. Bener nggak?”
Kamu
tersenyum dan mengerlingkan matamu, terlihat seksi seperti yang selalu aku
tahu.
Aku
pun turut tersenyum dan mendekap balik dekapanmu.
Tak
sepertimu, aku tak bisa menuntut jawaban, karena, meski aku bisa semauku
memeluk bahkan bercinta denganmu, tapi bayanganmu yang tercipta dari
imajinasiku ini tak akan bisa menjawab pertanyaanku juga cintaku.