Rabu, 24 April 2013

OVERLOAD

Sampai hari ini pun aku masih belum mengerti seperti apa lengkung otak dalam kepalamu. Mungkin saja sirkuit didalam situ berkelok kelok dalam atau malah berimpit sangat ekstrim seperti jalur maut bagi para pembalap jika benar kelokan otak itu tergantung dari frekuensi dan durasi penggunaannya. Karena selama aku menghabiskan waktuku bersamamu selama kita saling mengenal, aku jarang sekali melihatmu dalam kondisi santai dan tak memikirkan hal hal yang bagi otakku sulit atau terlalu berat untuk dipikirkan. Bahkan setelah kamu berbaring diatas tempat tidurmu pun kamu masih sempat sempatnya memikirkan hasil akhir dari analisis momen yang terjadi pada rangka portal fana yang dijadikan sebagai soal test tadi sore yang tak sempat diselesaikan dan dijadikan pekerjaan rumah kita malam ini untuk menambah nilai test seandainya nilainya sendiri tak memenuhi angka minimum.

“Iya Rec, harusnya tadi tuh titik a, b dan c nggak ada momen primernya.” Katamu bersemangat.

“Kenapa?” tanyaku tak sebersemangat kamu.

“Bebannya loh, itu kan ada di titik tumpu. Dan sambungan kaku itu kan berarti jepit. Jadi ya nggak ada momen. Tumpuan jepit jepit dengan beban terpusat di tumpuan. Gimana mau ada momennya!”

“Ck, aaah!” keluhku kesal, “Udah deh, lu nggak ngerti ya gua capek banget hari ini? Jangan bikin gua pusing juga kali!”

“Lu sendiri kan yang nggak terima kenapa jawaban dikelas tadi dibilang salah. Gua ya ngingetin aja.”

“Iya, tapi udahlah. Gua nggak terima salah kan bukan berarti gua masih mau mikirin jawaban benernya. Seenggaknya nggak sekarang setelah masalah proyek udah cukup bikin gua enek dan test dadakan tadi bikin gua stress.”

“Iya sorry!” sesalmu. Terlihat nyata dengan cemberutnya wajahmu yang membuatmu terlihat makin menggemaskan.

Aku tersenyum sambil menyapukan punggung telunjuk kiriku berkali kali dipipimu. Kemudian menggunakan tangan kiriku untuk menarikmu mendekat dan sedikit lagi merapat padaku. Seperti biasanya, tak peduli udara terasa segerah apa pun kamu selalu melesak kedalam selimut yang akan menutupi kaki telanjangmu yang hanya jenjang atasnya saja yang terbalut celana pendekmu itu.

“Hari ini tuh, yang, gua bĂȘte abis abisan di proyek.” Tuturku lugas. Aku selalu menikmati saat saat aku bercerita masalahku padamu. Tentunya karena kamu adalah seorang gadis yang selain cerdas dan berwawasan luas juga tipikal pendengar yang sangat baik dan sangt wise.

“Kenapa?” tanyamu antusias seperti biasa, juga selalu penuh ketulusan dalam perhatianmu.

“Kan ceritanya Arsitek bikin perubahan, sesuai keinginan owner emang, tapi nyebelin dong, masa ngerubah susunan kolom yang udah jadi.”

“Gimana jadinya?”

“Dimundurin, kolom paling depan dibongkar sejajar.”

“Ya cuma tinggal bongkar aja kan?”

 “Iya emang. Tapi kan kerjaan besok lusa jadi nambah banyak.”

“Resiko kontraktor emang gitu kan, mau gimana lagi?”

“Maunya ya nggak perlu ada masalah yang dibikin bikin kayak tadi yang jadi ngehambat gawean dan nambah nambah gawean.”

“Itumah semua orang juga mau. Tapi aneh juga kalo segalanya selalu lancar kan, jadi nikmatin aja.” Katamu enteng, tapi tak sedikit pun terdengar menyepelekan.

Aku tersenyum. Cukup mengerti jalan pikiranmu, bagimu hidup ini hanya eksis dengan adanya permasalahan, dan itu dengan sendirinya menjadikan kehidupan sendiri sejak awal sudah cukup berat dan tak perlu dibuat semakin berat dengan anggapan segalanya benar benar bisa jadi lebih berat lagi. Karena jika diteruskan pada akhirnya akan muncul perasaan terbebani secara berlebih hingga berpikir tak akan lagi sanggup menghadapinya, atau overload kamu selalu katakan dengan nada suara geli yang terdengar lucu juga dikupingku bila kamu yang mengatakannya. Bagaimana tak lucu, dengan entengnya kamu menganalogikan sifat dan prilaku yang terjadi pada pola struktur terhadap hidupmu sendiri.

 “Rec, apaan sih ah!” protesmu, saat aku menggodamu seperti biasa kali ini dengan menggigit ringan daun kupingmu yang dengan cepat memerah saat tergesek bibirku.

Aku bisa mencium bibirmu dengan mudah seperti yang selalu terjadi, tak peduli kamu berkali kali menghindar bahkan menjauh. Dan aku selalu menyukai waktu waktu penolakanmu yang selalu berakhir sia sia bila aku memang tengah ingin mencumbumu seperti ini. Kamu memang dan akan selalu lucu bagiku saat seperti ini, bahkan dibanyak saat dan banyak kondisi. Selalu menggemaskanku, dan dengan sendirinya membuatku merasa menyayangimu, sekaligus menyayangkanmu.

“Ssst!” secara spontan aku menempelkan telunjukku dibibirmu saat ponselku berdering, dan nama seorang gadis tertera di layar.

Amelia memanggil.

Kamu mengatupkan rapat rapat mulutmu, sementara wajahmu berekspresi seolah kamu menyesal padahal sebenarnya merasa geli sebelum menghilang dari perhatianku, tenggelam dalam naungan daguku dan bersembunyi dileherku.

“Hallo.” Kataku tenang. Seolah tak bersalah.

“Udah pulang kamu, yang?” Tanya suara manja ditelepon. Suara khas gadis yang sejak 2 tahun lalu jadi pacarku.

“Udah dari tadi. Kamu lagi apa?”

“Aku baru mau tidur.”

“Ya udah kalo udah mau tidur, emang udah larut juga, sana gih tidur! Aku juga udah siap siap pergi tidur.”

“Oke, nice sleep kamu ya!”

“Kamu juga.” Kataku lalu sambungan telepon diputus dari sana.

Dan seolah aku bisa melupakannya, aku sekali lagi diingatkan akan hal yang membuatku menyayangkanmu.

“Sya!” panggilku pelan seraya membelai bahumu.

“Udah?” tanyamu santai, aku mengiyakan, “Bentar banget?” katamu terdengar heran.

“Emang cuma gitu aja dianya.” Jawabku jujur. Lagipula aku sendiri pun tak ingin berlama lama berbincang dengan Amelia saat ada kamu bersamaku. Aku tak bisa tega melakukannya padamu meski kamu selalu menunjukan wajah tak keberatan bila terjadi seperti barusan. Sayangnya aku juga tak bisa mengatakannya dengan jujur padamu, tertutama karena kamu sendiri yang mengekangku untuk mengatakannya dengan segala sikapmu selama ini, sikap terlampau tenangmu selama ini.

Sekali lagi aku menarik wajahmu mendekat, menempelkan bibirmu dibibirku meski kali ini aku tak berkeras menciummu seperti tadi. Aku bisa merasakan saat bibirmu tertarik membentuk senyuman yang jika aku bisa melihatnya pasti sekali lagi membuatku merasa tak berdaya dan jatuh hati kepadamu atau lebih tepatnya benar benar jatuh olehmu. Entah sejak kapan hal itu dimulai, saat pertama kali hatiku ditekan kuat oleh pengaruh kepribadian gemilangmu, lalu ditarik kuat oleh pengaruh keunikan pribadimu hingga akhirnya aku dibuat tak kuasa menahan pengaruh kuat kehadiranmu.

Overload. Mungkin peristiwa itu lebih cocok bagiku yang meski telah dirancangkan rencana masa depan yang matang bersama Amelia, tapi pada akhirnya dibuat tak berdaya oleh segala sesuatu yang kamu miliki dalam dirimu. Senyum tulusmu, keramahanmu, kepintaranmu, ketergantunganku pada kemampuanmu di segala bidang yang kamu kuasai, daya tarikmu yang selalu mampu menarik banyak orang disekitarmu, dan satu cerita sedihmu yang jadi bebanmu sendiri, kisah overloadmu sendiri tentang seorang pria yang tak pernah meninggalkan hati dan pikiranmu sepanjang ingatanmu. Aku hanya bisa berharap tak akan terjadi crack setelah ini, apalagi hingga collapse yang mungkin akan kita alami karena kelakuan culasku ini atau karena overload yang seolah sengaja dibebankan pada kita masing masing ini.

Jumat, 12 April 2013

Air



Hari telah menggelap sejak sore tadi, mendung tebal yang menggantung sejak pagi semakin menggemuk saat mentari meninggalkan singgasana tertingginya. Lalu butiran hujan yang dilangit sana mungkin tampak sebesar kelereng gundu, berjatuhan ke bumi dalam ukuran lebih kecil dan bentuk bentuk tajam sehingga terasa pedas saat menghantam kulit yang telanjang.
Aku sempat dibuat gelisah oleh turunnya hujan, terutama saat sebuah pesan kudapati di posel dan berisi sepenggal kalimat yang berbunyi,
‘Ro, di tempat gua hujan nih. Kalo ntar malem nggak reda juga, acaranya kita pending aja ya?’
‘Ya.’ Jawabku berat hati, dengan harapan gadis itu mengerti keenggananku.
Tapi rupanya alam berpihak padaku. Tak sampai satu jam setelahnya, hujan benar benar berhenti menyisakan riak kelabu awan yang berarak bolah balik tertiup angin di langit tinggi sana. Dan sebuah pesan kembali datang.
‘Jadi pergi, Ro. Gua tunggu di kampus jam 8 ya.’
‘Ya.’ Jawabku lagi, kali ini berseri seri.
Tiga bulan lebih aku menantikan malam ini. Malam dimana datangnya sebuah kesempatan yang akan memberiku waktu panjang untuk diisi berdua saja dengan gadis itu. Apapun acaranya aku tak akan keberatan, dimana pun juga tak jadi masalah. Dan seperti permintaan basa basiku padanya tiga bulan lalu, malam ini Air dan aku duduk di salah satu meja bersofa lembut menghadap pemandangan lampu kota dan rumah warga yang terletak di bawah sana. Semilir angin malam hangat selepas hujan yang terasa nyata karena café udara terbuka ini tentu saja menambah puas suasana hatiku.
“Sesuai janji, gua keluar setower plus dua sloki aja.” Kata Air ngotot, aku mengangguk tak peduli. Karena memang aku tak peduli pada apapun kecuali waktu panjang kami berdua malam ini, selepas itu semua, kalau pun di akhir nanti aku harus membayar semua tagihan aku tak akan keberatan.
Hanya karena aku tak pernah berani mengajak Air jalan seperti ini secara langsung akhirnya aku harus bersabar menunggu hingga hari ulang tahun Air dan berlagak minta ditarktir seperti ini. Itu pun tak mudah karena aku dan Air sama sama sibuk sehingga sulit mencocokan waktu, dan setelah ulang tahun Air terlewat sebulan lebih, kami baru bisa saling menepati janji untuk jalan berdua menikmati malam minggu ditemani setower bir bercampur 2 sloki tequila seperti yang dijanjikan Air.
“Biar pun udah kelewat lama, tapi gua pengen ngucapin selamat lagi buat tambahnya umur lu sebulan kebelakang.” Kataku seraya mengacungkan gelasku ketengah tengah antara aku dan Air. Gadis itu menyambutku, hingga dentingan ringan gelas kaca terdengar merdu di kupingku.
Aku sedang sumringah hingga  segalanya malam ini terasa indah.
 Melihat air dengan cara yang seprivate ini bagaimana mungkin aku tak sumringah dan bungah. Dikampus kami, khususnya di fakultas kami Air cukup terkenal, sebagai seorang charming yang diam diam dikagumi para bujang teknik sepertiku. Dia orang yang mudah akrab dengan siapapun yang mendekat padanya, tak hanya anak sejurusannya. Aku sendiri bukan anak sipil seperti dia, melainkan arsitektur yang hanya jadi tetangganya saja. Tapi dia memang selalu tampak nyaman dan percaya diri dimana pun dia berada termasuk denganku dan anak anak asitektur lainnya yang beberpa diantara kami memang cukup dekat dengannya.
Sayangnya, meski aku tahu banyak yang diam diam punya perasaan lebih dari sekedar suka dan tertarik, tak seorang pun berani menyatakan isi hatinya, persis seperti aku. Bukan karena publik yang mengetahui Air adalah seorang janda kembang beranak satu, tapi karena dengan sikap yang tak menyatakan diri tapi cukup jelas Air menunjukan, dia membentengi dirinya dari perasaan para pria. Jujur saja aku benar benar frustasi dibuatnya, sebagai seorang pria lajang penuh pesona, aku malah terpikat seorang janda yang tak berselera lagi pada pria.
“Selamat ulang tahun!” gumam Air sebelum dia meneguk lagi isi gelas berisi birnya. Hatiku linu seketika. Dengan jelas aku tahu, hari ini adalah hari ulang tahun mendiang suami Air. Jam yang menunjukan kedua jarumnya ke angka dua belas menyatakan ini telah tepat harinya.
Air pasti begitu mencintai pria itu hingga selepas kepergiannya pun anak itu masih memperingati ulang tahunnya seperti ini padahal dia sama sekali tak pernah berkeberatan melewatkan peringatan ulang tahunnya sendiri.
“Ir, lu tuh ya.” Kataku sedikit kesal, “Orang yang udah mati tuh nggak lagi ulang tahun.”
Air melirik padaku dengan sepasang mata sayunya, “Maksud lu?”
“Lu ngucapin selamat barusan buat mendiang laki lu, kan?”
“Dia bukan mendiang laki gua.” Kata Air lesu, “Dia belum mati.” Lanjutnya. Aku ingin tertawa mendengarnya, mana mungkin Air bisa blunder hanya karena bir yang kami minum.
Air menyandarkan kepalanya di bahuku, “Nitip kepala gua bentar ya, gua capek banget seharian ini.” Keluhnya.
Aku tak menjawab permintaannya. Tanpa meminta pun aku akan membiarkannya bersandar padaku. Apalagi aku benar benar percaya rasa lelah yang tiap hari di tanggungnya. Aktifitasnya yang bahkan lebih padat dariku yang bekerja sekaligus kuliah itu, pasti benar benar melelahkan baginya. Dia setiap harinya harus kuliah untuk dirinya sendiri, mengajar juga atas perintah beberapa dosen yang memintanya jadi asisten bagi mereka, ditambah kuliah juga untuk orang lain yang membayarnya untuk melakukan kewajiban mereka sebagai mahasiswa yang sudah malas berfikir. Aktifitas berfikir terus seperti itu tentu saja jauh lebih melelahkan dari pada seharian mengeluarkan tenaga fisik untuk bekerja.
“Lu percaya gua janda, Ro?” Tanya Air.
“Emang kenapa gua harus nggak percaya saat lu udah ngomong sendiri?”
“Karena gua mungkin aja pembohong.”
“Air yang gua kenal selama ini, malah orang paling jujur yang gua tahu.”
“Kalo gitu lu percaya kemunafikan.”
Aku tak bisa menahan diri untuk tak melirik wajah Air yang hanya beberapa senti saja dibawah daguku. Air matanya meleleh jika aku tak salah lihat di bawah penerangan lampu yang redup ini.
“Lu pernah panggil gua flower widow. Malah sampe sekarang lu suka panggil gua gitu. Dan gua nggak pernah protes.”
“Lu nggak suka?” tanyaku.
Air menggeleng, “Gua cuma sakit hati aja.” Jawabnya. Dan bagiku itu lebih parah dari pada nggak suka. “Gua bukan janda.”
“Lu tebleng, Ir?”
Air menggeleng lagi, “Kalo gua ngakuin hal yang sebaliknya dari apa yang lu tahu apa itu berarti gua teler?”
Nggak. Tapi kenapa? Dia menyatakan sesuatu hal lalu mengakui sesuatu yang sebaliknya kemudian seperti ini.
“Gua bohong sama lu dan kalian selama ini. Cuma biar para cowok tahu, gua nggak pantas disukain kayak cara mereka suka sama gua. Dan biar gua tahu diri kalo gua bukan cewek yang pantes disukai dengan cara yang sama itu.”
“Lu ngomong apa sih?”
“Gua tahu kok, siapa siapa aja yang mandang gua sebagai temen biasa atau sohib deket, juga yang lihat gua sebagai gebetan.” Air menjauhkan dirinya dariku saat tawanya bergemirincing pilu, “Gua tahu kok, gua nggak lagi kegeeran saat gua lihat si A atau si B nunjukin gelagat dia naksir gua. Tapi gua nggak suka kalo apa yang gua lihat itu beneran. Gua nggak mau disukain kayak gitu.”
Angin yang berhenbus menghangatkan hati sejak tadi, dalam sekejap membekukan. Aku harus menahan diri untuk tidak memeluk tubuhku sendiri. Apa yang baru saja di katakan Air adalah penolakan terdingin dan terkejam yang pernah aku dengar.
“Andai gua bisa dengan jujur bilang sama mereka kalo gua seneng banget gua dinilai sebagai seorang cewek yang pantes disukain, gua pasti bilang dengan jujur, tapi itu bukan berarti gua bisa nerima hal itu dengan mudah. Gua cukup bisa menilai dan beruntung gua cukup tahu diri buat nggak terlalu tinggi nilai diri gua sendiri kayak orang orang kebanyakan.”
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Kenapa lu nilai rendah diri lu kayak gitu?”
“Karena gua emang nggak bernilai diri cukup tinggi. Sama sekali nggak tinggi sampe sampe gua tetep mertahanin rasa suka gua buat seorang cowok yang betahun tahu nolak gua dan anggap gua sebagai sampah.”
“Lu suka seseorang?”
Air mengangguk, “Figur suami gua yang kalian semua denger selama ini itulah orang yang gua suka. Tapi dia bukan suami gua yang udah mati, dia masih hidup dan terus terusan nolak gua.”
“Kalo gitu lupain dia! Lu gila ya, nyiksa diri lu kayak gini?” emosiku bangkit tiba tiba saja tanpa bisa kukendalikan.
“Mungkin gua gila. Gua juga mikir kalo gua udah nggak waras. Tapi gua nggak bisa lupain dia, nggak peduli seberapa kesiksanya gua karena suka sama dia, tapi gua tahu andai gua lupain dia, hidup gua pun bakalan berakhir sia sia.”
Perih. Perih yang kulihat dimatanya mencerminkan perih dimataku yang berkaca padanya. Perih yang sama.
“Makanya, malam ini, gua pengen minta tolong secara pribadi sama lu, andai lu tahu ada cowok yang lu kenal di luar sana yang beneran naksir gua, tolong lu bilangin sama mereka jangan suka sama gua dengan cara itu. Gimana mungkin gua jadi orang yang pantes dikasih rasa suka apalagi cinta sementara gua sendiri nggak suka dan nggak cinta sama diri gua sendiri?”
Suara Air begitu memohon, begitu menyesal. Aku tak bisa melakukan apapun selain menganggukan kepalaku.
Air tersenyum lega.
Aku menegak bir di gelasku yang terasa berkali kali lipat lebih pahit dari biasanya itu banyak banyak. Agar rangkaian kalimat yang kusiapkan sejak tiga bulan kebelakang tertelan bersamanya dan tak pernah muncul kembali bahkan dalam pikiran.
‘Gua suka lu, Ir. Nggak peduli apapun status lu, gimana pun masa lalu lu, dan kayak apapun perasaan dalam hati lu. Gua tetep suka sama lu, dan berharap lu mau nerima perasaan gua.’

Selasa, 09 April 2013

TRAFFIC'jam



Basah, berisik dan panas. Kurang lebih seperti itulah Bandung di musim hujannya beberapa tahun ini. Dingin yang membuat gemetar dan linu hingga sendi dan tulang hanya tinggal sejarah saja. Mall dan Factory outlet serta distro dimana mana dan mengundang sejumlah besar pelancong dari luar kota untuk menambah rasa gerah dan geruh. Kepemilikan atas mobil dan motor pribadi juga menjamur, dan menambah lagi kepadatan kota serta jalan jalan dan jalan raya.
 “Gua area sini bareng Rei.” Kataku setengah berteriak pada Melia, Janus dan Randi yang berkumpul diseberang jalan pada posisi mereka.
Posisi yang kumaksud adalah lengan simpang jalan yang jadi kewajiban kami untuk diteliti. Penelitian yang bertemakan perilaku pengemudi di persimpangan tak bersinyal seperti simpang lima lengan yang terdiri dari 2 lengan jalan Belitung dan 3 lengan jalan Lombok ini. Dimana banyak permasalahan dapat terjadi di titik ini dimulai dari kemacetan pada umumnya hingga kecelakaan kendaraan yang disebabkan oleh kesembronoan pengemudi itu sendiri. Gap, crossing, merging adalah sebagian kecil hal hal umum yang di buat khusus oleh keegoisan para pemilik kendaraan di situasi seperti ini. Gap yang menyebabkan senggolan kendaraan, crossing yang berakibat macetnya jalan, serta merging yang membuat antrian panjang kendaraan, itu semua hal yang tak seharusnya terjadi bila kesadaran tentang perilaku pantas mengemudi masih diampu.
Raihan memeriksa cam recordernya. Salah satu alat yang kami pegang masing masing untuk dapat merekan kejadian demi kejadian yang sudah seharusnya kami awasi. Perilaku seorang pengemudi saat ada celah untuk melakukan gap atau menyalip diantara 2 kendaraan yang berjarak cukup untuk dilewati ukuran kendaraannya, saat harus crossing atau berbelok ke sebelah kanan, serta saat merging yaitu memasuki antrian kendaraan didepannya atau menyatu di suatu ruas jalan yang baru dimasuki. Dengan begitu banyak aktivitas di jalan simpang tanpa pengatur masinal juga manual semacam ini, pengamatan kami akan memakan banyak tenaga dan perhatian.
Lihat saja saat ini, belum lagi penelitian kami memasuki waktu pelaksanaannya yang dilakukan pada jam arus variatif yaitu sekitar jam breaklunch hingga over dinner atau katakanlah jam 10 pagi hingga jam 8 malam, situasi sudah mulai tak menyenangkan dilihat. Padahal, jam padat arus di pagi hari yang rata rata dimulai jam 6 pagi dan biasa berlangsung selama dua jam untuk aktivitas masuk kerja atau sekolah harusnya telah berakhir satu jam kebelakang. Tapi, kekacauan kecil di persimpangan ini sepertinya tanpa henti, dengan adanya angkutan umum dan motor atau mobil pribadi yang mengalami beberapa detik agak panjang terjebak di pusat persimpangan karena aktivitas pengendara lain yang sama sama menggunakan ruas jalan ini pada saat bersamaan dan dengan sikap yang sama sama tak sadar berkendaranya.
“Yah, mau nggak mau jadi anak sipil berarti wajib ngilangin rasa malu.” Raihan memakai kacamata hitamnya sambil sedikit bergaya ala narsiser seolah dia merasa dirinya seorang pria paling keren di jagat raya yang super sempit ini lantaran di mana pun tempat itu berada kelakuan manusianya tak akan terlalu jauh berbeda.
“Emang malu kenapa?” tanyaku, jujur saja aku tak terlalu berantusias dengan hal sepele yang sudah dilakukan sejak lama itu. Hanya karena di sisi ini aku harus jadi satu satunya orang yang bersama dengannya maka aku merasa berkewajiban untuk tak membuatnya bosan dan kesepian sangat.
“Emang lu nggak malu bebs? Mejeng di pinggir jalan kayak gini Cuma buat ngawasin mobil motor yang lewat dan nyatet semua itu. Orang bakal bilang apa coba!”
“Orang yang mana?”
“Yang lewat dan yang lihat dong, say.”
“Orang asing. Apa ngaruhnya? Lagian bakal segitu banyaknya, kuping aja nggak bakal bisa denger kok.”
“Kalo ada yang kenal gimana?”
“Tinggal senyum, angkat tangan dan melambai, trus bilang ‘I’m an engineer’.”
“Semudah itu?”
“Kalo bisa mudah kenapa harus milih sulit, hidup aja udah cukup sulit kok.”
“Kenapa lu selalu kelihatan santai? Gua perhatiin, sesusah apapun masa masa kuliah, lu selalu kelihatan nyantei dan asik aja.”
“Karena emang asik.”
“Asik sebelah mananya? Kuliahnya susah, dosennya kasar, prakteknya payah kayak gini.”
Aku tersenyum, “Menurut lu, gimana rasanya ngedate?”
“Ya gitu lah, masa lu nggak tahu. Have fun aja.”
“Kalo cuaca nggak bagus dihari kencan lu, atau babehnya cewek lu nggak terlalu ramah sama lu tiap kali lu ngapelin cewek lu, apa lu bakal gentar, frustasi dan berenti?”
Absolutely not!
Why?
“Karena gua sayang cewek gua.”
“Gua juga. Sipil cinta gua.”
“Sinting lu!”
“Gua serius. Rasa yang lu punya buat cewek lu, pengorbanan yang lu kasih dan ketulusan lu, juga upaya keras lu yang nggak kenal rasa takut atau susah buat cewek lu itu, gua punya dan gua kasih juga buat sipil.”
Raihan menggeleng geleng seraya menyeringai geli.
“Dalam otak gua ilmu sipil itu kayak cowok seksi, nyaris sempurna.”
“Apaan, ngaco lu!”
Aku bergidik. “Emang seksi kok, makin lu kenal makin lu penasaran, itu kan arti seksi, menggoda buat terus digali dan ditelusuri, nggak pernah hilang daya tarik buat terus digauli, dan nyaris sempurna itu juga sifat yang cocok banget buat satu pribadi yang tampak sederhana tapi kompleks didalamnya, segala ada segala bisa.”
“Lu lagi ngomongion sipil apa gebetan lu sih?”
“Bisa dua duanya.” Akuku merasa geli sendiri.
Seorang pria yang kusukai selama ini memang bisa dibilang seperti sipil yang kugeluti. Paras dan penampilan berkualitas tinggi, masa depan menjanjikan, sifat dan pribadinya tampak sederhana tapi kompleks luar biasa. Benar benar identik dengan sifat gabungan ilmu eksakta matematika dan fisika yang dipoles dengan teori teori rekayasa hingga menghasilkan jiwa yang tepat guna, tepat daya serta tepat materia. Satu jenis yang mengemban tanggung jawab besar, kemampuan tinggi serta kecermatan super dalam satu tubuh di satu waktu. Satu hal yang mengandung begitu banyak jumlah tekanan, menyimpan begitu tinggi tingkat tantantangan dan menghasilkan berbagai rupa variasi kepuasan serta kekecewaan.
“Jadi gebetan lu kayak apa hei?” Tanya Raihan. “Selama gua kenal lu, gua nggak pernah tahu lu kencan, pacaran atau pun pedekate kayaknya. Kecuali lu hancurin satu persatu hati cowok yang deketin lu.”
“Ngarang!”
“Jangan pura pura. Gua tahu pasti berapa cowok yang tumbang gara gara lu.”
“Maksud lu?”
“Nggak dikit kan cowok yang lu tolak selama lu kuliah bareng kita?”
Aku menyeringai ringan, tak lebih dari satu detik dan tanpa antusias.
“Cowok yang lu suka pastinya high quality, kan!”
“Kenapa harus?”
“Lihat lu sendiri, charming lu menang, pinter iya, usefull bener bener buat siapa pun, kindness tanpa pilih pilih, galak, cerewet dan ngebossy yang bikin lu nyebelin jadi nggak ada artinya sama sekali. So, pastinya kelas cowok lu juga nggak standar kebawah karena lu juga standar keatas.”
Pujian yang terlalu tinggi.
“Gua serius, swear!” Raihan merentangkan jemari tangan kirinya di dada dan mengacungkan telunjuk serta jari tengah tangan kanannya setinggi kuping.
Thanks!”
“Jadi kayak apa cowok lu?”
“Gua nggak punya.”
“Serius?”
Aku mengangguk.
“Kalo gebetan?”
“Apa sih yang lagi lu coba cari tahu? Kisah cinta gua?”
“Yaa…..kurang lebih gitulah.”
“Kisah cinta gua nggak beda jauh kayak kondisi jalan di Bandung ini, nggak asik dan lama lama ngebetein. Bisa dibilang macet. Nggak bisa maju.”
“Lu digantung?”
“Di tolak.”
Reihan tersedak tiba tiba, “Nggak mungkin ada yang berani nolak lu.” Katanya terdengar seperti meledek.
“Yang nolak gua ada. Satu, bertahun tahun tapi masih gua harepin. Dia kayak sipil, susah, berat dan interesting buat gua. Tapi kayak sipil juga, selalu gua yakinin adalah hidup gua pada akhirnya.”
“Keyakinan lu nggak ketinggian tuh?”
“Gua rasa nggak, itu mimpi yang gua udah pilih. Dan kayak kata pepatah, kita nggak akan bisa ngeraih mimpi kalau nggak pernah milih mimpi.”
“Tetep lu butuh pilihan mimpi kedua buat cadangan kalo kalo yang pertama nggak teraih.”
“Gua nggak perlu cadangan, karena gua sendiri bukan cadangan dan nggak mau jadi pilihan kedua.”
“Lu, bener bener deh! Gua dari dulu selalu silau ngelihat lu, kenapa bisa ada orang kayak lu?”
“Maksud lu?”
“Lu pede dan nyaman jadi diri lu, gimana bisa?”
Yesterday I was always worried people would said ‘she thinked who is she?’, but now I can yeld people confidently, ‘this is who I am!’. Coz, I was falling in love with me.
Raihan mengernyit.
Love your self first!”
“Then. Love civil, heh?
Tawaku meluncur ringan, “Bisaaa, bisaa.”
“Dan lu udah kelihatan sebegitu hebatnya tapi tetep aja masih punya rasa ketidak bahagiaan heh?”
Senyumku mungkin terlihat kecut. “Orang itu, sampe kapan pun akan merasa belum bener bener bahagia atau puas. Karena kodrati diciptain kayak gitu sama Sang Tuhan. Nggak peduli segimana dengan jelas bisa ngelihat satu batasan dan ukuran tetep aja bakal tetep sama sesuai kodratnya. Tapi apa gunanya buat lu tahu soal gua kayak gini?”
 “Yah, cukup bikin tahu pasti lu juga Cuma cewek biasa aja.”
“Emang gua cewek biasa kok. Jadi, right now, just shut up! Dan cepet bawa alat alat keluar dari mobil sekarang, lima menit lagi kita bakalan mulai penelitiannya.”
Raihan tak bicara lagi, melakukan saja yang kuperintahkan, pria itu berlalu masuk ke kursi belakang mobilnya yang jadi tempat kami menyimpan semua peralatan. Tak ada lagi yang bisa kuceritakan padanya, mengenai aku, studiku yang sama seperti dirinya sendirinya, pria pujaanku juga cerita pribadiku, semua hanya hal tak penting yang cukup dilihat saja atau diabaikan saja. Seperti katanya tadi dan akuku tadi, aku hanya gadis biasa, dengan penampilan pas pasan, tanpa sifat hot apalagi gorgeus. Mukaku tak jarang berjerawat, aku tak punya tubuh seksi atau bentuk perut yang flat. Aku punya selulit dikulitku, aku tak terikat aturan diet dan makan apapun dan kapanpun aku mau, aku punya sedikit lebih banyak lemak di ototku dari pada seharusnya dan aku tak mempercantik diriku dengan make up atau gaun mewah. Aku mencintai celana jeans dan sepatu catsiku yang simple, aku terkadang gila dan tak bisa diprediksi, aku juga tak berusaha jadi pribadi seseorang yang bukan aku. Siapapun boleh mencintaiku, sebagian orang menyukaiku dan aku tak takut untuk dibenci. Aku tak menyesal menjadi diriku, dan aku takkan meminta maaf karena menjadi diriku yang sebenarnya meski banyak orang menilaiku rendah dan salah. Aku telah berbuat baik aku juga telah berbuat buruk. Aku adalah aku. Dan berharap juga disukai apa adanya aku karena aku menolak berubah dari jati diriku. Tapi, bila aku menyukai seseorang dan menjatuhkan hatiku padanya, aku akan melakukannya dengan seluruh diriku.