Rabu, 24 April 2013
Jumat, 12 April 2013
Air
Hari
telah menggelap sejak sore tadi, mendung tebal yang menggantung sejak pagi
semakin menggemuk saat mentari meninggalkan singgasana tertingginya. Lalu
butiran hujan yang dilangit sana mungkin tampak sebesar kelereng gundu,
berjatuhan ke bumi dalam ukuran lebih kecil dan bentuk bentuk tajam sehingga
terasa pedas saat menghantam kulit yang telanjang.
Aku
sempat dibuat gelisah oleh turunnya hujan, terutama saat sebuah pesan kudapati
di posel dan berisi sepenggal kalimat yang berbunyi,
‘Ro,
di tempat gua hujan nih. Kalo ntar malem nggak reda juga, acaranya kita pending
aja ya?’
‘Ya.’
Jawabku berat hati, dengan harapan gadis itu mengerti keenggananku.
Tapi
rupanya alam berpihak padaku. Tak sampai satu jam setelahnya, hujan benar benar
berhenti menyisakan riak kelabu awan yang berarak bolah balik tertiup angin di
langit tinggi sana. Dan sebuah pesan kembali datang.
‘Jadi
pergi, Ro. Gua tunggu di kampus jam 8 ya.’
‘Ya.’
Jawabku lagi, kali ini berseri seri.
Tiga
bulan lebih aku menantikan malam ini. Malam dimana datangnya sebuah kesempatan
yang akan memberiku waktu panjang untuk diisi berdua saja dengan gadis itu.
Apapun acaranya aku tak akan keberatan, dimana pun juga tak jadi masalah. Dan
seperti permintaan basa basiku padanya tiga bulan lalu, malam ini Air dan aku
duduk di salah satu meja bersofa lembut menghadap pemandangan lampu kota dan
rumah warga yang terletak di bawah sana. Semilir angin malam hangat selepas
hujan yang terasa nyata karena café udara terbuka ini tentu saja menambah puas
suasana hatiku.
“Sesuai
janji, gua keluar setower plus dua sloki aja.” Kata Air ngotot, aku mengangguk tak peduli. Karena
memang aku tak peduli pada apapun kecuali waktu panjang kami berdua malam ini,
selepas itu semua, kalau pun di akhir nanti aku harus membayar semua tagihan aku
tak akan keberatan.
Hanya
karena aku tak pernah berani mengajak Air jalan seperti ini secara langsung
akhirnya aku harus bersabar menunggu hingga hari ulang tahun Air dan berlagak
minta ditarktir seperti ini. Itu pun tak mudah karena aku dan Air sama sama sibuk
sehingga sulit mencocokan waktu, dan setelah ulang tahun Air terlewat sebulan
lebih, kami baru bisa saling menepati janji untuk jalan berdua menikmati malam
minggu ditemani setower bir bercampur 2 sloki tequila seperti yang dijanjikan Air.
“Biar
pun udah kelewat lama, tapi gua pengen ngucapin selamat lagi buat tambahnya
umur lu sebulan kebelakang.” Kataku seraya mengacungkan gelasku ketengah tengah
antara aku dan Air. Gadis itu menyambutku, hingga dentingan ringan gelas kaca
terdengar merdu di kupingku.
Aku
sedang sumringah hingga segalanya malam
ini terasa indah.
Melihat air dengan cara yang seprivate ini bagaimana mungkin aku tak
sumringah dan bungah. Dikampus kami, khususnya di fakultas kami Air cukup
terkenal, sebagai seorang charming yang
diam diam dikagumi para bujang teknik sepertiku. Dia orang yang mudah akrab
dengan siapapun yang mendekat padanya, tak hanya anak sejurusannya. Aku sendiri
bukan anak sipil seperti dia, melainkan arsitektur yang hanya jadi tetangganya
saja. Tapi dia memang selalu tampak nyaman dan percaya diri dimana pun dia
berada termasuk denganku dan anak anak asitektur lainnya yang beberpa diantara
kami memang cukup dekat dengannya.
Sayangnya,
meski aku tahu banyak yang diam diam punya perasaan lebih dari sekedar suka dan
tertarik, tak seorang pun berani menyatakan isi hatinya, persis seperti aku.
Bukan karena publik yang mengetahui Air adalah seorang janda kembang beranak
satu, tapi karena dengan sikap yang tak menyatakan diri tapi cukup jelas Air
menunjukan, dia membentengi dirinya dari perasaan para pria. Jujur saja aku
benar benar frustasi dibuatnya, sebagai seorang pria lajang penuh pesona, aku
malah terpikat seorang janda yang tak berselera lagi pada pria.
“Selamat
ulang tahun!” gumam Air sebelum dia meneguk lagi isi gelas berisi birnya.
Hatiku linu seketika. Dengan jelas aku tahu, hari ini adalah hari ulang tahun
mendiang suami Air. Jam yang menunjukan kedua jarumnya ke angka dua belas
menyatakan ini telah tepat harinya.
Air
pasti begitu mencintai pria itu hingga selepas kepergiannya pun anak itu masih
memperingati ulang tahunnya seperti ini padahal dia sama sekali tak pernah
berkeberatan melewatkan peringatan ulang tahunnya sendiri.
“Ir,
lu tuh ya.” Kataku sedikit kesal, “Orang yang udah mati tuh nggak lagi ulang
tahun.”
Air
melirik padaku dengan sepasang mata sayunya, “Maksud lu?”
“Lu
ngucapin selamat barusan buat mendiang laki lu, kan?”
“Dia
bukan mendiang laki gua.” Kata Air lesu, “Dia belum mati.” Lanjutnya. Aku ingin
tertawa mendengarnya, mana mungkin Air bisa blunder
hanya karena bir yang kami minum.
Air
menyandarkan kepalanya di bahuku, “Nitip kepala gua bentar ya, gua capek banget
seharian ini.” Keluhnya.
Aku
tak menjawab permintaannya. Tanpa meminta pun aku akan membiarkannya bersandar
padaku. Apalagi aku benar benar percaya rasa lelah yang tiap hari di
tanggungnya. Aktifitasnya yang bahkan lebih padat dariku yang bekerja sekaligus
kuliah itu, pasti benar benar melelahkan baginya. Dia setiap harinya harus
kuliah untuk dirinya sendiri, mengajar juga atas perintah beberapa dosen yang
memintanya jadi asisten bagi mereka, ditambah kuliah juga untuk orang lain yang
membayarnya untuk melakukan kewajiban mereka sebagai mahasiswa yang sudah malas
berfikir. Aktifitas berfikir terus seperti itu tentu saja jauh lebih melelahkan
dari pada seharian mengeluarkan tenaga fisik untuk bekerja.
“Lu
percaya gua janda, Ro?” Tanya Air.
“Emang
kenapa gua harus nggak percaya saat lu udah ngomong sendiri?”
“Karena
gua mungkin aja pembohong.”
“Air
yang gua kenal selama ini, malah orang paling jujur yang gua tahu.”
“Kalo
gitu lu percaya kemunafikan.”
Aku
tak bisa menahan diri untuk tak melirik wajah Air yang hanya beberapa senti
saja dibawah daguku. Air matanya meleleh jika aku tak salah lihat di bawah penerangan
lampu yang redup ini.
“Lu
pernah panggil gua flower widow.
Malah sampe sekarang lu suka panggil gua gitu. Dan gua nggak pernah protes.”
“Lu
nggak suka?” tanyaku.
Air
menggeleng, “Gua cuma sakit hati aja.” Jawabnya. Dan bagiku itu lebih parah
dari pada nggak suka. “Gua bukan janda.”
“Lu
tebleng, Ir?”
Air
menggeleng lagi, “Kalo gua ngakuin hal yang sebaliknya dari apa yang lu tahu
apa itu berarti gua teler?”
Nggak.
Tapi kenapa? Dia menyatakan sesuatu hal lalu mengakui sesuatu yang sebaliknya
kemudian seperti ini.
“Gua
bohong sama lu dan kalian selama ini. Cuma biar para cowok tahu, gua nggak
pantas disukain kayak cara mereka suka sama gua. Dan biar gua tahu diri kalo
gua bukan cewek yang pantes disukai dengan cara yang sama itu.”
“Lu
ngomong apa sih?”
“Gua
tahu kok, siapa siapa aja yang mandang gua sebagai temen biasa atau sohib deket,
juga yang lihat gua sebagai gebetan.” Air menjauhkan dirinya dariku saat
tawanya bergemirincing pilu, “Gua tahu kok, gua nggak lagi kegeeran saat gua
lihat si A atau si B nunjukin gelagat dia naksir gua. Tapi gua nggak suka kalo
apa yang gua lihat itu beneran. Gua nggak mau disukain kayak gitu.”
Angin
yang berhenbus menghangatkan hati sejak tadi, dalam sekejap membekukan. Aku
harus menahan diri untuk tidak memeluk tubuhku sendiri. Apa yang baru saja di
katakan Air adalah penolakan terdingin dan terkejam yang pernah aku dengar.
“Andai
gua bisa dengan jujur bilang sama mereka kalo gua seneng banget gua dinilai
sebagai seorang cewek yang pantes disukain, gua pasti bilang dengan jujur, tapi
itu bukan berarti gua bisa nerima hal itu dengan mudah. Gua cukup bisa menilai
dan beruntung gua cukup tahu diri buat nggak terlalu tinggi nilai diri gua
sendiri kayak orang orang kebanyakan.”
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Kenapa
lu nilai rendah diri lu kayak gitu?”
“Karena
gua emang nggak bernilai diri cukup tinggi. Sama sekali nggak tinggi sampe
sampe gua tetep mertahanin rasa suka gua buat seorang cowok yang betahun tahu
nolak gua dan anggap gua sebagai sampah.”
“Lu
suka seseorang?”
Air
mengangguk, “Figur suami gua yang kalian semua denger selama ini itulah orang
yang gua suka. Tapi dia bukan suami gua yang udah mati, dia masih hidup dan
terus terusan nolak gua.”
“Kalo
gitu lupain dia! Lu gila ya, nyiksa diri lu kayak gini?” emosiku bangkit tiba
tiba saja tanpa bisa kukendalikan.
“Mungkin
gua gila. Gua juga mikir kalo gua udah nggak waras. Tapi gua nggak bisa lupain
dia, nggak peduli seberapa kesiksanya gua karena suka sama dia, tapi gua tahu
andai gua lupain dia, hidup gua pun bakalan berakhir sia sia.”
Perih.
Perih yang kulihat dimatanya mencerminkan perih dimataku yang berkaca padanya.
Perih yang sama.
“Makanya,
malam ini, gua pengen minta tolong secara pribadi sama lu, andai lu tahu ada
cowok yang lu kenal di luar sana yang beneran naksir gua, tolong lu bilangin
sama mereka jangan suka sama gua dengan cara itu. Gimana mungkin gua jadi orang
yang pantes dikasih rasa suka apalagi cinta sementara gua sendiri nggak suka
dan nggak cinta sama diri gua sendiri?”
Suara
Air begitu memohon, begitu menyesal. Aku tak bisa melakukan apapun selain
menganggukan kepalaku.
Air
tersenyum lega.
Aku
menegak bir di gelasku yang terasa berkali kali lipat lebih pahit dari biasanya itu
banyak banyak. Agar rangkaian kalimat yang kusiapkan sejak tiga bulan
kebelakang tertelan bersamanya dan tak pernah muncul kembali bahkan dalam
pikiran.
‘Gua
suka lu, Ir. Nggak peduli apapun status lu, gimana pun masa lalu lu, dan kayak
apapun perasaan dalam hati lu. Gua tetep suka sama lu, dan berharap lu mau
nerima perasaan gua.’
Selasa, 09 April 2013
TRAFFIC'jam
Basah,
berisik dan panas. Kurang lebih seperti itulah Bandung di musim hujannya
beberapa tahun ini. Dingin yang membuat gemetar dan linu hingga sendi dan
tulang hanya tinggal sejarah saja. Mall dan
Factory outlet serta distro dimana mana dan mengundang sejumlah
besar pelancong dari luar kota untuk menambah rasa gerah dan geruh. Kepemilikan
atas mobil dan motor pribadi juga menjamur, dan menambah lagi kepadatan kota
serta jalan jalan dan jalan raya.
“Gua area sini bareng Rei.” Kataku setengah
berteriak pada Melia, Janus dan Randi yang berkumpul diseberang jalan pada
posisi mereka.
Posisi
yang kumaksud adalah lengan simpang jalan yang jadi kewajiban kami untuk
diteliti. Penelitian yang bertemakan perilaku pengemudi di persimpangan tak
bersinyal seperti simpang lima lengan yang terdiri dari 2 lengan jalan Belitung
dan 3 lengan jalan Lombok ini. Dimana banyak permasalahan dapat terjadi di
titik ini dimulai dari kemacetan pada umumnya hingga kecelakaan kendaraan yang
disebabkan oleh kesembronoan pengemudi itu sendiri. Gap, crossing, merging adalah sebagian kecil hal hal
umum yang di buat khusus oleh keegoisan para pemilik kendaraan di situasi
seperti ini. Gap yang menyebabkan
senggolan kendaraan, crossing yang
berakibat macetnya jalan, serta merging yang
membuat antrian panjang kendaraan, itu semua hal yang tak seharusnya terjadi
bila kesadaran tentang perilaku pantas mengemudi masih diampu.
Raihan
memeriksa cam recordernya. Salah satu
alat yang kami pegang masing masing untuk dapat merekan kejadian demi kejadian
yang sudah seharusnya kami awasi. Perilaku seorang pengemudi saat ada celah
untuk melakukan gap atau menyalip
diantara 2 kendaraan yang berjarak cukup untuk dilewati ukuran kendaraannya,
saat harus crossing atau berbelok ke
sebelah kanan, serta saat merging yaitu
memasuki antrian kendaraan didepannya atau menyatu di suatu ruas jalan yang
baru dimasuki. Dengan begitu banyak aktivitas di jalan simpang tanpa pengatur
masinal juga manual semacam ini, pengamatan kami akan memakan banyak tenaga dan
perhatian.
Lihat
saja saat ini, belum lagi penelitian kami memasuki waktu pelaksanaannya yang
dilakukan pada jam arus variatif yaitu sekitar jam breaklunch hingga over dinner
atau katakanlah jam 10 pagi hingga jam 8 malam, situasi sudah mulai tak
menyenangkan dilihat. Padahal, jam padat arus di pagi hari yang rata rata
dimulai jam 6 pagi dan biasa berlangsung selama dua jam untuk aktivitas masuk
kerja atau sekolah harusnya telah berakhir satu jam kebelakang. Tapi, kekacauan
kecil di persimpangan ini sepertinya tanpa henti, dengan adanya angkutan umum
dan motor atau mobil pribadi yang mengalami beberapa detik agak panjang
terjebak di pusat persimpangan karena aktivitas pengendara lain yang sama sama
menggunakan ruas jalan ini pada saat bersamaan dan dengan sikap yang sama sama
tak sadar berkendaranya.
“Yah,
mau nggak mau jadi anak sipil berarti wajib ngilangin rasa malu.” Raihan
memakai kacamata hitamnya sambil sedikit bergaya ala narsiser seolah dia merasa dirinya seorang pria paling keren di
jagat raya yang super sempit ini lantaran di mana pun tempat itu berada
kelakuan manusianya tak akan terlalu jauh berbeda.
“Emang
malu kenapa?” tanyaku, jujur saja aku tak terlalu berantusias dengan hal sepele
yang sudah dilakukan sejak lama itu. Hanya karena di sisi ini aku harus jadi satu
satunya orang yang bersama dengannya maka aku merasa berkewajiban untuk tak
membuatnya bosan dan kesepian sangat.
“Emang
lu nggak malu bebs? Mejeng di pinggir
jalan kayak gini Cuma buat ngawasin mobil motor yang lewat dan nyatet semua
itu. Orang bakal bilang apa coba!”
“Orang
yang mana?”
“Yang
lewat dan yang lihat dong, say.”
“Orang
asing. Apa ngaruhnya? Lagian bakal segitu banyaknya, kuping aja nggak bakal
bisa denger kok.”
“Kalo
ada yang kenal gimana?”
“Tinggal
senyum, angkat tangan dan melambai, trus bilang ‘I’m an engineer’.”
“Semudah
itu?”
“Kalo
bisa mudah kenapa harus milih sulit, hidup aja udah cukup sulit kok.”
“Kenapa
lu selalu kelihatan santai? Gua perhatiin, sesusah apapun masa masa kuliah, lu
selalu kelihatan nyantei dan asik aja.”
“Karena
emang asik.”
“Asik
sebelah mananya? Kuliahnya susah, dosennya kasar, prakteknya payah kayak gini.”
Aku
tersenyum, “Menurut lu, gimana rasanya ngedate?”
“Ya
gitu lah, masa lu nggak tahu. Have fun aja.”
“Kalo
cuaca nggak bagus dihari kencan lu, atau babehnya cewek lu nggak terlalu ramah
sama lu tiap kali lu ngapelin cewek lu, apa lu bakal gentar, frustasi dan
berenti?”
“Absolutely not!”
“Why?”
“Karena
gua sayang cewek gua.”
“Gua
juga. Sipil cinta gua.”
“Sinting
lu!”
“Gua
serius. Rasa yang lu punya buat cewek lu, pengorbanan yang lu kasih dan
ketulusan lu, juga upaya keras lu yang nggak kenal rasa takut atau susah buat
cewek lu itu, gua punya dan gua kasih juga buat sipil.”
Raihan
menggeleng geleng seraya menyeringai geli.
“Dalam
otak gua ilmu sipil itu kayak cowok seksi, nyaris sempurna.”
“Apaan,
ngaco lu!”
Aku
bergidik. “Emang seksi kok, makin lu kenal makin lu penasaran, itu kan arti
seksi, menggoda buat terus digali dan ditelusuri, nggak pernah hilang daya
tarik buat terus digauli, dan nyaris sempurna itu juga sifat yang cocok banget
buat satu pribadi yang tampak sederhana tapi kompleks didalamnya, segala ada
segala bisa.”
“Lu
lagi ngomongion sipil apa gebetan lu sih?”
“Bisa
dua duanya.” Akuku merasa geli sendiri.
Seorang
pria yang kusukai selama ini memang bisa dibilang seperti sipil yang kugeluti.
Paras dan penampilan berkualitas tinggi, masa depan menjanjikan, sifat dan
pribadinya tampak sederhana tapi kompleks luar biasa. Benar benar identik
dengan sifat gabungan ilmu eksakta matematika dan fisika yang dipoles dengan
teori teori rekayasa hingga menghasilkan jiwa yang tepat guna, tepat daya serta
tepat materia. Satu jenis yang mengemban tanggung jawab besar, kemampuan tinggi
serta kecermatan super dalam satu tubuh di satu waktu. Satu hal yang mengandung
begitu banyak jumlah tekanan, menyimpan begitu tinggi tingkat tantantangan dan
menghasilkan berbagai rupa variasi kepuasan serta kekecewaan.
“Jadi
gebetan lu kayak apa hei?” Tanya Raihan. “Selama gua kenal lu, gua nggak pernah
tahu lu kencan, pacaran atau pun pedekate kayaknya. Kecuali lu hancurin satu
persatu hati cowok yang deketin lu.”
“Ngarang!”
“Jangan
pura pura. Gua tahu pasti berapa cowok yang tumbang gara gara lu.”
“Maksud
lu?”
“Nggak
dikit kan cowok yang lu tolak selama lu kuliah bareng kita?”
Aku
menyeringai ringan, tak lebih dari satu detik dan tanpa antusias.
“Cowok
yang lu suka pastinya high quality, kan!”
“Kenapa
harus?”
“Lihat
lu sendiri, charming lu menang,
pinter iya, usefull bener bener buat
siapa pun, kindness tanpa pilih
pilih, galak, cerewet dan ngebossy yang
bikin lu nyebelin jadi nggak ada artinya sama sekali. So, pastinya kelas cowok lu juga nggak standar kebawah karena lu
juga standar keatas.”
Pujian
yang terlalu tinggi.
“Gua
serius, swear!” Raihan merentangkan
jemari tangan kirinya di dada dan mengacungkan telunjuk serta jari tengah
tangan kanannya setinggi kuping.
“Thanks!”
“Jadi
kayak apa cowok lu?”
“Gua
nggak punya.”
“Serius?”
Aku
mengangguk.
“Kalo
gebetan?”
“Apa
sih yang lagi lu coba cari tahu? Kisah cinta gua?”
“Yaa…..kurang
lebih gitulah.”
“Kisah
cinta gua nggak beda jauh kayak kondisi jalan di Bandung ini, nggak asik dan
lama lama ngebetein. Bisa dibilang macet. Nggak bisa maju.”
“Lu
digantung?”
“Di
tolak.”
Reihan
tersedak tiba tiba, “Nggak mungkin ada yang berani nolak lu.” Katanya terdengar
seperti meledek.
“Yang
nolak gua ada. Satu, bertahun tahun tapi masih gua harepin. Dia kayak sipil,
susah, berat dan interesting buat
gua. Tapi kayak sipil juga, selalu gua yakinin adalah hidup gua pada akhirnya.”
“Keyakinan
lu nggak ketinggian tuh?”
“Gua
rasa nggak, itu mimpi yang gua udah pilih. Dan kayak kata pepatah, kita nggak
akan bisa ngeraih mimpi kalau nggak pernah milih mimpi.”
“Tetep
lu butuh pilihan mimpi kedua buat cadangan kalo kalo yang pertama nggak
teraih.”
“Gua
nggak perlu cadangan, karena gua sendiri bukan cadangan dan nggak mau jadi
pilihan kedua.”
“Lu,
bener bener deh! Gua dari dulu selalu silau ngelihat lu, kenapa bisa ada orang
kayak lu?”
“Maksud
lu?”
“Lu
pede dan nyaman jadi diri lu, gimana bisa?”
“Yesterday I was always worried people would
said ‘she thinked who is she?’, but now I can yeld people confidently, ‘this is
who I am!’. Coz, I was falling in love with me.”
Raihan
mengernyit.
“Love your self first!”
“Then. Love civil, heh?”
Tawaku
meluncur ringan, “Bisaaa, bisaa.”
“Dan
lu udah kelihatan sebegitu hebatnya tapi tetep aja masih punya rasa ketidak
bahagiaan heh?”
Senyumku
mungkin terlihat kecut. “Orang itu, sampe kapan pun akan merasa belum bener
bener bahagia atau puas. Karena kodrati diciptain kayak gitu sama Sang Tuhan.
Nggak peduli segimana dengan jelas bisa ngelihat satu batasan dan ukuran tetep
aja bakal tetep sama sesuai kodratnya. Tapi apa gunanya buat lu tahu soal gua
kayak gini?”
“Yah, cukup bikin tahu pasti lu juga Cuma
cewek biasa aja.”
“Emang
gua cewek biasa kok. Jadi, right now,
just shut up! Dan cepet bawa alat alat keluar dari mobil sekarang, lima
menit lagi kita bakalan mulai penelitiannya.”
Raihan
tak bicara lagi, melakukan saja yang kuperintahkan, pria itu berlalu masuk ke
kursi belakang mobilnya yang jadi tempat kami menyimpan semua peralatan. Tak
ada lagi yang bisa kuceritakan padanya, mengenai aku, studiku yang sama seperti
dirinya sendirinya, pria pujaanku juga cerita pribadiku, semua hanya hal tak
penting yang cukup dilihat saja atau diabaikan saja. Seperti katanya tadi dan
akuku tadi, aku hanya gadis biasa, dengan penampilan pas pasan, tanpa sifat hot apalagi gorgeus. Mukaku tak jarang berjerawat, aku tak punya tubuh seksi
atau bentuk perut yang flat. Aku
punya selulit dikulitku, aku tak terikat aturan diet dan makan apapun dan
kapanpun aku mau, aku punya sedikit lebih banyak lemak di ototku dari pada
seharusnya dan aku tak mempercantik diriku dengan make up atau gaun mewah. Aku mencintai celana jeans dan sepatu catsiku yang simple, aku
terkadang gila dan tak bisa diprediksi, aku juga tak berusaha jadi pribadi
seseorang yang bukan aku. Siapapun boleh mencintaiku, sebagian orang menyukaiku
dan aku tak takut untuk dibenci. Aku tak menyesal menjadi diriku, dan aku
takkan meminta maaf karena menjadi diriku yang sebenarnya meski banyak orang
menilaiku rendah dan salah. Aku telah berbuat baik aku juga telah berbuat
buruk. Aku adalah aku. Dan berharap juga disukai apa adanya aku karena aku
menolak berubah dari jati diriku. Tapi, bila aku menyukai seseorang dan
menjatuhkan hatiku padanya, aku akan melakukannya dengan seluruh diriku.
Langganan:
Postingan (Atom)