Jumat, 12 April 2013

Air



Hari telah menggelap sejak sore tadi, mendung tebal yang menggantung sejak pagi semakin menggemuk saat mentari meninggalkan singgasana tertingginya. Lalu butiran hujan yang dilangit sana mungkin tampak sebesar kelereng gundu, berjatuhan ke bumi dalam ukuran lebih kecil dan bentuk bentuk tajam sehingga terasa pedas saat menghantam kulit yang telanjang.
Aku sempat dibuat gelisah oleh turunnya hujan, terutama saat sebuah pesan kudapati di posel dan berisi sepenggal kalimat yang berbunyi,
‘Ro, di tempat gua hujan nih. Kalo ntar malem nggak reda juga, acaranya kita pending aja ya?’
‘Ya.’ Jawabku berat hati, dengan harapan gadis itu mengerti keenggananku.
Tapi rupanya alam berpihak padaku. Tak sampai satu jam setelahnya, hujan benar benar berhenti menyisakan riak kelabu awan yang berarak bolah balik tertiup angin di langit tinggi sana. Dan sebuah pesan kembali datang.
‘Jadi pergi, Ro. Gua tunggu di kampus jam 8 ya.’
‘Ya.’ Jawabku lagi, kali ini berseri seri.
Tiga bulan lebih aku menantikan malam ini. Malam dimana datangnya sebuah kesempatan yang akan memberiku waktu panjang untuk diisi berdua saja dengan gadis itu. Apapun acaranya aku tak akan keberatan, dimana pun juga tak jadi masalah. Dan seperti permintaan basa basiku padanya tiga bulan lalu, malam ini Air dan aku duduk di salah satu meja bersofa lembut menghadap pemandangan lampu kota dan rumah warga yang terletak di bawah sana. Semilir angin malam hangat selepas hujan yang terasa nyata karena café udara terbuka ini tentu saja menambah puas suasana hatiku.
“Sesuai janji, gua keluar setower plus dua sloki aja.” Kata Air ngotot, aku mengangguk tak peduli. Karena memang aku tak peduli pada apapun kecuali waktu panjang kami berdua malam ini, selepas itu semua, kalau pun di akhir nanti aku harus membayar semua tagihan aku tak akan keberatan.
Hanya karena aku tak pernah berani mengajak Air jalan seperti ini secara langsung akhirnya aku harus bersabar menunggu hingga hari ulang tahun Air dan berlagak minta ditarktir seperti ini. Itu pun tak mudah karena aku dan Air sama sama sibuk sehingga sulit mencocokan waktu, dan setelah ulang tahun Air terlewat sebulan lebih, kami baru bisa saling menepati janji untuk jalan berdua menikmati malam minggu ditemani setower bir bercampur 2 sloki tequila seperti yang dijanjikan Air.
“Biar pun udah kelewat lama, tapi gua pengen ngucapin selamat lagi buat tambahnya umur lu sebulan kebelakang.” Kataku seraya mengacungkan gelasku ketengah tengah antara aku dan Air. Gadis itu menyambutku, hingga dentingan ringan gelas kaca terdengar merdu di kupingku.
Aku sedang sumringah hingga  segalanya malam ini terasa indah.
 Melihat air dengan cara yang seprivate ini bagaimana mungkin aku tak sumringah dan bungah. Dikampus kami, khususnya di fakultas kami Air cukup terkenal, sebagai seorang charming yang diam diam dikagumi para bujang teknik sepertiku. Dia orang yang mudah akrab dengan siapapun yang mendekat padanya, tak hanya anak sejurusannya. Aku sendiri bukan anak sipil seperti dia, melainkan arsitektur yang hanya jadi tetangganya saja. Tapi dia memang selalu tampak nyaman dan percaya diri dimana pun dia berada termasuk denganku dan anak anak asitektur lainnya yang beberpa diantara kami memang cukup dekat dengannya.
Sayangnya, meski aku tahu banyak yang diam diam punya perasaan lebih dari sekedar suka dan tertarik, tak seorang pun berani menyatakan isi hatinya, persis seperti aku. Bukan karena publik yang mengetahui Air adalah seorang janda kembang beranak satu, tapi karena dengan sikap yang tak menyatakan diri tapi cukup jelas Air menunjukan, dia membentengi dirinya dari perasaan para pria. Jujur saja aku benar benar frustasi dibuatnya, sebagai seorang pria lajang penuh pesona, aku malah terpikat seorang janda yang tak berselera lagi pada pria.
“Selamat ulang tahun!” gumam Air sebelum dia meneguk lagi isi gelas berisi birnya. Hatiku linu seketika. Dengan jelas aku tahu, hari ini adalah hari ulang tahun mendiang suami Air. Jam yang menunjukan kedua jarumnya ke angka dua belas menyatakan ini telah tepat harinya.
Air pasti begitu mencintai pria itu hingga selepas kepergiannya pun anak itu masih memperingati ulang tahunnya seperti ini padahal dia sama sekali tak pernah berkeberatan melewatkan peringatan ulang tahunnya sendiri.
“Ir, lu tuh ya.” Kataku sedikit kesal, “Orang yang udah mati tuh nggak lagi ulang tahun.”
Air melirik padaku dengan sepasang mata sayunya, “Maksud lu?”
“Lu ngucapin selamat barusan buat mendiang laki lu, kan?”
“Dia bukan mendiang laki gua.” Kata Air lesu, “Dia belum mati.” Lanjutnya. Aku ingin tertawa mendengarnya, mana mungkin Air bisa blunder hanya karena bir yang kami minum.
Air menyandarkan kepalanya di bahuku, “Nitip kepala gua bentar ya, gua capek banget seharian ini.” Keluhnya.
Aku tak menjawab permintaannya. Tanpa meminta pun aku akan membiarkannya bersandar padaku. Apalagi aku benar benar percaya rasa lelah yang tiap hari di tanggungnya. Aktifitasnya yang bahkan lebih padat dariku yang bekerja sekaligus kuliah itu, pasti benar benar melelahkan baginya. Dia setiap harinya harus kuliah untuk dirinya sendiri, mengajar juga atas perintah beberapa dosen yang memintanya jadi asisten bagi mereka, ditambah kuliah juga untuk orang lain yang membayarnya untuk melakukan kewajiban mereka sebagai mahasiswa yang sudah malas berfikir. Aktifitas berfikir terus seperti itu tentu saja jauh lebih melelahkan dari pada seharian mengeluarkan tenaga fisik untuk bekerja.
“Lu percaya gua janda, Ro?” Tanya Air.
“Emang kenapa gua harus nggak percaya saat lu udah ngomong sendiri?”
“Karena gua mungkin aja pembohong.”
“Air yang gua kenal selama ini, malah orang paling jujur yang gua tahu.”
“Kalo gitu lu percaya kemunafikan.”
Aku tak bisa menahan diri untuk tak melirik wajah Air yang hanya beberapa senti saja dibawah daguku. Air matanya meleleh jika aku tak salah lihat di bawah penerangan lampu yang redup ini.
“Lu pernah panggil gua flower widow. Malah sampe sekarang lu suka panggil gua gitu. Dan gua nggak pernah protes.”
“Lu nggak suka?” tanyaku.
Air menggeleng, “Gua cuma sakit hati aja.” Jawabnya. Dan bagiku itu lebih parah dari pada nggak suka. “Gua bukan janda.”
“Lu tebleng, Ir?”
Air menggeleng lagi, “Kalo gua ngakuin hal yang sebaliknya dari apa yang lu tahu apa itu berarti gua teler?”
Nggak. Tapi kenapa? Dia menyatakan sesuatu hal lalu mengakui sesuatu yang sebaliknya kemudian seperti ini.
“Gua bohong sama lu dan kalian selama ini. Cuma biar para cowok tahu, gua nggak pantas disukain kayak cara mereka suka sama gua. Dan biar gua tahu diri kalo gua bukan cewek yang pantes disukai dengan cara yang sama itu.”
“Lu ngomong apa sih?”
“Gua tahu kok, siapa siapa aja yang mandang gua sebagai temen biasa atau sohib deket, juga yang lihat gua sebagai gebetan.” Air menjauhkan dirinya dariku saat tawanya bergemirincing pilu, “Gua tahu kok, gua nggak lagi kegeeran saat gua lihat si A atau si B nunjukin gelagat dia naksir gua. Tapi gua nggak suka kalo apa yang gua lihat itu beneran. Gua nggak mau disukain kayak gitu.”
Angin yang berhenbus menghangatkan hati sejak tadi, dalam sekejap membekukan. Aku harus menahan diri untuk tidak memeluk tubuhku sendiri. Apa yang baru saja di katakan Air adalah penolakan terdingin dan terkejam yang pernah aku dengar.
“Andai gua bisa dengan jujur bilang sama mereka kalo gua seneng banget gua dinilai sebagai seorang cewek yang pantes disukain, gua pasti bilang dengan jujur, tapi itu bukan berarti gua bisa nerima hal itu dengan mudah. Gua cukup bisa menilai dan beruntung gua cukup tahu diri buat nggak terlalu tinggi nilai diri gua sendiri kayak orang orang kebanyakan.”
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Kenapa lu nilai rendah diri lu kayak gitu?”
“Karena gua emang nggak bernilai diri cukup tinggi. Sama sekali nggak tinggi sampe sampe gua tetep mertahanin rasa suka gua buat seorang cowok yang betahun tahu nolak gua dan anggap gua sebagai sampah.”
“Lu suka seseorang?”
Air mengangguk, “Figur suami gua yang kalian semua denger selama ini itulah orang yang gua suka. Tapi dia bukan suami gua yang udah mati, dia masih hidup dan terus terusan nolak gua.”
“Kalo gitu lupain dia! Lu gila ya, nyiksa diri lu kayak gini?” emosiku bangkit tiba tiba saja tanpa bisa kukendalikan.
“Mungkin gua gila. Gua juga mikir kalo gua udah nggak waras. Tapi gua nggak bisa lupain dia, nggak peduli seberapa kesiksanya gua karena suka sama dia, tapi gua tahu andai gua lupain dia, hidup gua pun bakalan berakhir sia sia.”
Perih. Perih yang kulihat dimatanya mencerminkan perih dimataku yang berkaca padanya. Perih yang sama.
“Makanya, malam ini, gua pengen minta tolong secara pribadi sama lu, andai lu tahu ada cowok yang lu kenal di luar sana yang beneran naksir gua, tolong lu bilangin sama mereka jangan suka sama gua dengan cara itu. Gimana mungkin gua jadi orang yang pantes dikasih rasa suka apalagi cinta sementara gua sendiri nggak suka dan nggak cinta sama diri gua sendiri?”
Suara Air begitu memohon, begitu menyesal. Aku tak bisa melakukan apapun selain menganggukan kepalaku.
Air tersenyum lega.
Aku menegak bir di gelasku yang terasa berkali kali lipat lebih pahit dari biasanya itu banyak banyak. Agar rangkaian kalimat yang kusiapkan sejak tiga bulan kebelakang tertelan bersamanya dan tak pernah muncul kembali bahkan dalam pikiran.
‘Gua suka lu, Ir. Nggak peduli apapun status lu, gimana pun masa lalu lu, dan kayak apapun perasaan dalam hati lu. Gua tetep suka sama lu, dan berharap lu mau nerima perasaan gua.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar