Hari
telah menggelap sejak sore tadi, mendung tebal yang menggantung sejak pagi
semakin menggemuk saat mentari meninggalkan singgasana tertingginya. Lalu
butiran hujan yang dilangit sana mungkin tampak sebesar kelereng gundu,
berjatuhan ke bumi dalam ukuran lebih kecil dan bentuk bentuk tajam sehingga
terasa pedas saat menghantam kulit yang telanjang.
Aku
sempat dibuat gelisah oleh turunnya hujan, terutama saat sebuah pesan kudapati
di posel dan berisi sepenggal kalimat yang berbunyi,
‘Ro,
di tempat gua hujan nih. Kalo ntar malem nggak reda juga, acaranya kita pending
aja ya?’
‘Ya.’
Jawabku berat hati, dengan harapan gadis itu mengerti keenggananku.
Tapi
rupanya alam berpihak padaku. Tak sampai satu jam setelahnya, hujan benar benar
berhenti menyisakan riak kelabu awan yang berarak bolah balik tertiup angin di
langit tinggi sana. Dan sebuah pesan kembali datang.
‘Jadi
pergi, Ro. Gua tunggu di kampus jam 8 ya.’
‘Ya.’
Jawabku lagi, kali ini berseri seri.
Tiga
bulan lebih aku menantikan malam ini. Malam dimana datangnya sebuah kesempatan
yang akan memberiku waktu panjang untuk diisi berdua saja dengan gadis itu.
Apapun acaranya aku tak akan keberatan, dimana pun juga tak jadi masalah. Dan
seperti permintaan basa basiku padanya tiga bulan lalu, malam ini Air dan aku
duduk di salah satu meja bersofa lembut menghadap pemandangan lampu kota dan
rumah warga yang terletak di bawah sana. Semilir angin malam hangat selepas
hujan yang terasa nyata karena café udara terbuka ini tentu saja menambah puas
suasana hatiku.
“Sesuai
janji, gua keluar setower plus dua sloki aja.” Kata Air ngotot, aku mengangguk tak peduli. Karena
memang aku tak peduli pada apapun kecuali waktu panjang kami berdua malam ini,
selepas itu semua, kalau pun di akhir nanti aku harus membayar semua tagihan aku
tak akan keberatan.
Hanya
karena aku tak pernah berani mengajak Air jalan seperti ini secara langsung
akhirnya aku harus bersabar menunggu hingga hari ulang tahun Air dan berlagak
minta ditarktir seperti ini. Itu pun tak mudah karena aku dan Air sama sama sibuk
sehingga sulit mencocokan waktu, dan setelah ulang tahun Air terlewat sebulan
lebih, kami baru bisa saling menepati janji untuk jalan berdua menikmati malam
minggu ditemani setower bir bercampur 2 sloki tequila seperti yang dijanjikan Air.
“Biar
pun udah kelewat lama, tapi gua pengen ngucapin selamat lagi buat tambahnya
umur lu sebulan kebelakang.” Kataku seraya mengacungkan gelasku ketengah tengah
antara aku dan Air. Gadis itu menyambutku, hingga dentingan ringan gelas kaca
terdengar merdu di kupingku.
Aku
sedang sumringah hingga segalanya malam
ini terasa indah.
Melihat air dengan cara yang seprivate ini bagaimana mungkin aku tak
sumringah dan bungah. Dikampus kami, khususnya di fakultas kami Air cukup
terkenal, sebagai seorang charming yang
diam diam dikagumi para bujang teknik sepertiku. Dia orang yang mudah akrab
dengan siapapun yang mendekat padanya, tak hanya anak sejurusannya. Aku sendiri
bukan anak sipil seperti dia, melainkan arsitektur yang hanya jadi tetangganya
saja. Tapi dia memang selalu tampak nyaman dan percaya diri dimana pun dia
berada termasuk denganku dan anak anak asitektur lainnya yang beberpa diantara
kami memang cukup dekat dengannya.
Sayangnya,
meski aku tahu banyak yang diam diam punya perasaan lebih dari sekedar suka dan
tertarik, tak seorang pun berani menyatakan isi hatinya, persis seperti aku.
Bukan karena publik yang mengetahui Air adalah seorang janda kembang beranak
satu, tapi karena dengan sikap yang tak menyatakan diri tapi cukup jelas Air
menunjukan, dia membentengi dirinya dari perasaan para pria. Jujur saja aku
benar benar frustasi dibuatnya, sebagai seorang pria lajang penuh pesona, aku
malah terpikat seorang janda yang tak berselera lagi pada pria.
“Selamat
ulang tahun!” gumam Air sebelum dia meneguk lagi isi gelas berisi birnya.
Hatiku linu seketika. Dengan jelas aku tahu, hari ini adalah hari ulang tahun
mendiang suami Air. Jam yang menunjukan kedua jarumnya ke angka dua belas
menyatakan ini telah tepat harinya.
Air
pasti begitu mencintai pria itu hingga selepas kepergiannya pun anak itu masih
memperingati ulang tahunnya seperti ini padahal dia sama sekali tak pernah
berkeberatan melewatkan peringatan ulang tahunnya sendiri.
“Ir,
lu tuh ya.” Kataku sedikit kesal, “Orang yang udah mati tuh nggak lagi ulang
tahun.”
Air
melirik padaku dengan sepasang mata sayunya, “Maksud lu?”
“Lu
ngucapin selamat barusan buat mendiang laki lu, kan?”
“Dia
bukan mendiang laki gua.” Kata Air lesu, “Dia belum mati.” Lanjutnya. Aku ingin
tertawa mendengarnya, mana mungkin Air bisa blunder
hanya karena bir yang kami minum.
Air
menyandarkan kepalanya di bahuku, “Nitip kepala gua bentar ya, gua capek banget
seharian ini.” Keluhnya.
Aku
tak menjawab permintaannya. Tanpa meminta pun aku akan membiarkannya bersandar
padaku. Apalagi aku benar benar percaya rasa lelah yang tiap hari di
tanggungnya. Aktifitasnya yang bahkan lebih padat dariku yang bekerja sekaligus
kuliah itu, pasti benar benar melelahkan baginya. Dia setiap harinya harus
kuliah untuk dirinya sendiri, mengajar juga atas perintah beberapa dosen yang
memintanya jadi asisten bagi mereka, ditambah kuliah juga untuk orang lain yang
membayarnya untuk melakukan kewajiban mereka sebagai mahasiswa yang sudah malas
berfikir. Aktifitas berfikir terus seperti itu tentu saja jauh lebih melelahkan
dari pada seharian mengeluarkan tenaga fisik untuk bekerja.
“Lu
percaya gua janda, Ro?” Tanya Air.
“Emang
kenapa gua harus nggak percaya saat lu udah ngomong sendiri?”
“Karena
gua mungkin aja pembohong.”
“Air
yang gua kenal selama ini, malah orang paling jujur yang gua tahu.”
“Kalo
gitu lu percaya kemunafikan.”
Aku
tak bisa menahan diri untuk tak melirik wajah Air yang hanya beberapa senti
saja dibawah daguku. Air matanya meleleh jika aku tak salah lihat di bawah penerangan
lampu yang redup ini.
“Lu
pernah panggil gua flower widow.
Malah sampe sekarang lu suka panggil gua gitu. Dan gua nggak pernah protes.”
“Lu
nggak suka?” tanyaku.
Air
menggeleng, “Gua cuma sakit hati aja.” Jawabnya. Dan bagiku itu lebih parah
dari pada nggak suka. “Gua bukan janda.”
“Lu
tebleng, Ir?”
Air
menggeleng lagi, “Kalo gua ngakuin hal yang sebaliknya dari apa yang lu tahu
apa itu berarti gua teler?”
Nggak.
Tapi kenapa? Dia menyatakan sesuatu hal lalu mengakui sesuatu yang sebaliknya
kemudian seperti ini.
“Gua
bohong sama lu dan kalian selama ini. Cuma biar para cowok tahu, gua nggak
pantas disukain kayak cara mereka suka sama gua. Dan biar gua tahu diri kalo
gua bukan cewek yang pantes disukai dengan cara yang sama itu.”
“Lu
ngomong apa sih?”
“Gua
tahu kok, siapa siapa aja yang mandang gua sebagai temen biasa atau sohib deket,
juga yang lihat gua sebagai gebetan.” Air menjauhkan dirinya dariku saat
tawanya bergemirincing pilu, “Gua tahu kok, gua nggak lagi kegeeran saat gua
lihat si A atau si B nunjukin gelagat dia naksir gua. Tapi gua nggak suka kalo
apa yang gua lihat itu beneran. Gua nggak mau disukain kayak gitu.”
Angin
yang berhenbus menghangatkan hati sejak tadi, dalam sekejap membekukan. Aku
harus menahan diri untuk tidak memeluk tubuhku sendiri. Apa yang baru saja di
katakan Air adalah penolakan terdingin dan terkejam yang pernah aku dengar.
“Andai
gua bisa dengan jujur bilang sama mereka kalo gua seneng banget gua dinilai
sebagai seorang cewek yang pantes disukain, gua pasti bilang dengan jujur, tapi
itu bukan berarti gua bisa nerima hal itu dengan mudah. Gua cukup bisa menilai
dan beruntung gua cukup tahu diri buat nggak terlalu tinggi nilai diri gua
sendiri kayak orang orang kebanyakan.”
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Kenapa
lu nilai rendah diri lu kayak gitu?”
“Karena
gua emang nggak bernilai diri cukup tinggi. Sama sekali nggak tinggi sampe
sampe gua tetep mertahanin rasa suka gua buat seorang cowok yang betahun tahu
nolak gua dan anggap gua sebagai sampah.”
“Lu
suka seseorang?”
Air
mengangguk, “Figur suami gua yang kalian semua denger selama ini itulah orang
yang gua suka. Tapi dia bukan suami gua yang udah mati, dia masih hidup dan
terus terusan nolak gua.”
“Kalo
gitu lupain dia! Lu gila ya, nyiksa diri lu kayak gini?” emosiku bangkit tiba
tiba saja tanpa bisa kukendalikan.
“Mungkin
gua gila. Gua juga mikir kalo gua udah nggak waras. Tapi gua nggak bisa lupain
dia, nggak peduli seberapa kesiksanya gua karena suka sama dia, tapi gua tahu
andai gua lupain dia, hidup gua pun bakalan berakhir sia sia.”
Perih.
Perih yang kulihat dimatanya mencerminkan perih dimataku yang berkaca padanya.
Perih yang sama.
“Makanya,
malam ini, gua pengen minta tolong secara pribadi sama lu, andai lu tahu ada
cowok yang lu kenal di luar sana yang beneran naksir gua, tolong lu bilangin
sama mereka jangan suka sama gua dengan cara itu. Gimana mungkin gua jadi orang
yang pantes dikasih rasa suka apalagi cinta sementara gua sendiri nggak suka
dan nggak cinta sama diri gua sendiri?”
Suara
Air begitu memohon, begitu menyesal. Aku tak bisa melakukan apapun selain
menganggukan kepalaku.
Air
tersenyum lega.
Aku
menegak bir di gelasku yang terasa berkali kali lipat lebih pahit dari biasanya itu
banyak banyak. Agar rangkaian kalimat yang kusiapkan sejak tiga bulan
kebelakang tertelan bersamanya dan tak pernah muncul kembali bahkan dalam
pikiran.
‘Gua
suka lu, Ir. Nggak peduli apapun status lu, gimana pun masa lalu lu, dan kayak
apapun perasaan dalam hati lu. Gua tetep suka sama lu, dan berharap lu mau
nerima perasaan gua.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar