Senyummu selalu terlihat penuh percaya
diri. Kamu tampan. Otakmu cerdas. Dan orang tuamu kaya. Aku tak bisa sama
sekali menemukan potensi ketidak sempurnaan dari dirimu, benar benar tak ada
harapan.
Aku selalu menahan perasaanku. Kepalaku
ragu ragu bila mendongak menantang dunia. Tawaku merdu namun tak bermakna bila
sekelilingku bahagia. Dan bagimu mungkin akulah orang paling suram di dunia.
Aku bertahan jatuh cinta padamu entah sudah
berapa lama. Dan kamu meniadakan keberadaanku sejak pertama. Dunia ini, bagi
kita, bila tentang kita, dimata kita tentunya benar benar gila. Kamu berfikir
bagaimana mungkin aku tetap pada pemujaanku padamu sedangkan kamu tak sekali
pun mau tahu. Dan aku ingin tahu, kapankah pandanganmu akan berubah padaku dan
mengadakan aku yang sebelumnya selama ini selalu kau berusaha untuk abaikan
bahkan enyahkan.
“Yang!” panggilnya dari ambang pintu kamarku,
aku bergegas mengantongi potret senyummu meski aku tahu dia mungkin saja
melihatku tadi sedang memandangimu.
“Kenapa diumpetin?” tanyanya lagi seraya
merangkulku dari belakang.
“Nggak diumpetin kok.” Jawabku singkat.
Berdusta. Tak berdusta pula. Pria dibelakangku tahu pasti siapa kamu, seperti
aku tahu pasti siapa kekasihnya. Maka bila dia memanggilku dengan kata sayang,
aku sama sekali tak terbebani tetap memikirkanmu saat bersamanya karena aku
hanya bernilai sebatas beguna baginya, bukan kecintaan seperti kamu untukku.
“Terus kenapa buru buru ditaro gitu?”
tuntutnya.
“Nggak kenapa? Ya di taro aja.”
“Hmmh.” Gumamannya yang entah bermakna apa
menghilang saat wajahnya menempel di bahu telanjangku. Dia dengan cueknya
mencumbu kulit di sekitar leherku biasanya hingga rona merah tipis berbekas
dengan jelas.
Aku tak mampu bereaksi kecuali diam
membiarkannya berhenti sendiri.
“Ada gawean yang nggak bisa gua selesein
sendiri. Bantuin ya?” katanya lagi setelah dia melepaskanku dan rangkulan kedua
tangannya.
Aku mengiyakan seperti yang sudah sudah.
Entah kenapa, aku selalu dimintai bantuan
meski kadang aku merasa tak benar benar berkemampuan. Dia dan orang orang lain
yang mendekatiku selalu berfikir keberadaanku berguna meski kadang aku tak
berani memberikan penghargaan pada diriku sendiri karena takut terlalu tinggi
untuk disebut berguna. Herannya, banyak orang mengakuiku meski aku belum bisa
benar benar menganggap aku menyukai diriku.
“Ini tattoo klien gua yang tadi sore
dateng.” Katanya seraya menunjukan selembar foto belikat berkulit putih yang
bertatto gaya tribal oldschool. “Dia pengen cover up, tapi konsepnya tetep
tribal.”
Aku mengernyit mendengar lanjutannya.
“Katanya dia udah mentok mikirin konsep
yang mungkin di pake, gua sendiri nggak kepikiran gimana ngecover up yang kayak
ginian tapi dengan konsep tribal lagi.”
Tentu saja, tattoo sebesar itu mau
dimodifikasi seperti apalagi kalo dengan konsep yang sama. Andai tattoo
sebelumnya jauh lebih kecil tentunya masih bisa diusahakan dengan ukuran
diperlebar, tapi seluruh kulit belikat itu telah penuh oleh goresan hitam tebal
harmonis. Memang apa yang bisa dilakukan oleh tribal lagi untuk menutupinya.
“Kenapa nggak potret atau yang lainnya?”
tanyaku.
“Dia bilang nggak pengen potret dan nggak
mau warna. Malah dia bilang bikinin gaya gaya samoan atau polinesian aja.”
“Segede gitu lagi?”
“Kiri kanan boleh, asal jangang fullback
aja.”
Aku mengacak acak folder konsepku, mencari
konsep yang saat ini terpikir olehku. Seperti salah satu syaratnya, polinesian
konsep. Simple, cukup besar dan tanpa warna tentu saja.
Aku menyerahkan selembar kertas bergambar
konsep pada pria murung dihadapanku ini.
Pria itu mengernyit. “Kalo kayak gini ntar
tabrakan sama gambar lama.” Keluhnya.
“Ilangin aja gambar lamanya. Gambar ini
cukup lebar kesegala arah. Cukup cocok kalo kata gua. Tinta putih di kulitnya
nggak bakalan kentara, anggap aja black and grey, yang penting nggak berwarna
kan?”
“Tapi mintanya satu warna.”
“Lu pede nggak sih jadi artis tattoo, Ka.
Bilang aja lu bakal kasih yang terbaik buat dia, suruh dia percaya sama lu atau
cari aja artis yang lain yang pastinya bakalan punya ide sama kayak lu, alias
kayak gua.”
“Hmmh!” gumamnya.
“Lagian tuh orang bego, Tattoo bagus gitu
mo diilangin.”
“Kata dia gambarnya ngebosenin.”
“Menurut gua nggak tuh, tattoo dia punya makna
lebih dalem dari sekedar gambarnya, cewek itu Cuma ngerti trend aja sih, nggak
mau ngulik sejarahnya. Besok saat lu tattoo dia, lu jelasin deh, gambar barunya
itu ngandung symbol yang diambil dari orang orang polinesia tentang kepercayaan
mereka sama agama mereka, keyakinan akan ketuhanan dan kepatuhan pada tuhannya
itu. Sementara tattoo lamanya. Adalah lambang cewek suci Samoa. Nggak pantes
sama sekali di bilang ngebosenin.”
Pria itu tersenyum tipis syarat ejekan.
“Kenapa? Lu sendiri harusnya bisa
ngemaknainya. Ngemaknai diri dan aspek dalam profesi pilhan lu.” Kataku lagi.
Makna memang hal yang terlupakan pada saat
ini. Segala sesuatunya, kini hampir hanya dinilai dari penampilannya, caranya
terlihat. Pantas atau tidaknya, benar atau tidaknya kini benar benar ditentukan
oleh kesan dimata. Alasan, nilai moral pelaku, pemicu, atau pendorong kalah
telak oleh nilai pandangan. Seperti aku dan kamu yang selamanya akan selalu
terlihat tak pantas. Bahkan dimatamu sekali pun.
Aku sendiri menganggap hal itu sama saja,
kamu tak sedikit pun bernilai tinggi bila bersamaku, apalagi aku jika
bersamamu. Tak peduli seberapa banyaknya orang yang datang dan mengatakan
mereka membutuhkan bantuanku, kamu pasti tak akan jadi salah satu dari mereka,
dan itu artinya aku tak berharga bagimu, malah mungkin tak berguna. Padahal
seharusnya, pantas itu berarti bermanfaat, sebagai pemicu, pendorong atau
sekedar hanya pendukung.
Maka aku hanya bisa menjalani sisa maknaku
sebagai pengharap perubahanmu.
“Gua manut.” Katanya, “Sayang banget deh
gua sama lu, yang! Nggak ada argue gua yang bisa ngalahin lu. Selalu.”
Lanjutnya. “Cuma lu yang nggak bisa gua kalahin.”
“Bullshit.” Dengusku, “Bukannya lu takut
setengah mati sama cewek lu.”
Dia tersenyum, “Ya, gua emang takut sama
dia. Gua takut kehilangan dia karena gua yang pengen dia hilang.”
“Maksud lu?”
“Gua lebih takut sama lu.”
Aku mengerling malas padanya. tak ada alasan untuk percaya kata katanya.
"Serius, yang." katanya lagi, “Gua takut pengen milikin lu karena lu
terlalu berharga buat nggak dimilikin, sementara lu nggak pernah pengen
seutuhnya gua milikin.”
Dia tersenyum datar. Penuh makna. Yang tak
pernah ku tahu ada selama ini. Makna yang mengandung alasan, pemicu, sekaligus
pendorong penyesalanku.
Aku masih memikirkanmu yang mungkin masih
belum mengingatku. Penghargaan yang terlihat sama sekali tak berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar