Kamis, 16 Mei 2013

Considered - Unconsidervable



Senyummu selalu terlihat penuh percaya diri. Kamu tampan. Otakmu cerdas. Dan orang tuamu kaya. Aku tak bisa sama sekali menemukan potensi ketidak sempurnaan dari dirimu, benar benar tak ada harapan.
Aku selalu menahan perasaanku. Kepalaku ragu ragu bila mendongak menantang dunia. Tawaku merdu namun tak bermakna bila sekelilingku bahagia. Dan bagimu mungkin akulah orang paling suram di dunia.
Aku bertahan jatuh cinta padamu entah sudah berapa lama. Dan kamu meniadakan keberadaanku sejak pertama. Dunia ini, bagi kita, bila tentang kita, dimata kita tentunya benar benar gila. Kamu berfikir bagaimana mungkin aku tetap pada pemujaanku padamu sedangkan kamu tak sekali pun mau tahu. Dan aku ingin tahu, kapankah pandanganmu akan berubah padaku dan mengadakan aku yang sebelumnya selama ini selalu kau berusaha untuk abaikan bahkan enyahkan.
“Yang!” panggilnya dari ambang pintu kamarku, aku bergegas mengantongi potret senyummu meski aku tahu dia mungkin saja melihatku tadi sedang memandangimu.
“Kenapa diumpetin?” tanyanya lagi seraya merangkulku dari belakang.
“Nggak diumpetin kok.” Jawabku singkat. Berdusta. Tak berdusta pula. Pria dibelakangku tahu pasti siapa kamu, seperti aku tahu pasti siapa kekasihnya. Maka bila dia memanggilku dengan kata sayang, aku sama sekali tak terbebani tetap memikirkanmu saat bersamanya karena aku hanya bernilai sebatas beguna baginya, bukan kecintaan seperti kamu untukku.
“Terus kenapa buru buru ditaro gitu?” tuntutnya.
“Nggak kenapa? Ya di taro aja.”
“Hmmh.” Gumamannya yang entah bermakna apa menghilang saat wajahnya menempel di bahu telanjangku. Dia dengan cueknya mencumbu kulit di sekitar leherku biasanya hingga rona merah tipis berbekas dengan jelas.
Aku tak mampu bereaksi kecuali diam membiarkannya berhenti sendiri.
“Ada gawean yang nggak bisa gua selesein sendiri. Bantuin ya?” katanya lagi setelah dia melepaskanku dan rangkulan kedua tangannya.
Aku mengiyakan seperti yang sudah sudah.
Entah kenapa, aku selalu dimintai bantuan meski kadang aku merasa tak benar benar berkemampuan. Dia dan orang orang lain yang mendekatiku selalu berfikir keberadaanku berguna meski kadang aku tak berani memberikan penghargaan pada diriku sendiri karena takut terlalu tinggi untuk disebut berguna. Herannya, banyak orang mengakuiku meski aku belum bisa benar benar menganggap aku menyukai diriku.
“Ini tattoo klien gua yang tadi sore dateng.” Katanya seraya menunjukan selembar foto belikat berkulit putih yang bertatto gaya tribal oldschool. “Dia pengen cover up, tapi konsepnya tetep tribal.”
Aku mengernyit mendengar lanjutannya.
“Katanya dia udah mentok mikirin konsep yang mungkin di pake, gua sendiri nggak kepikiran gimana ngecover up yang kayak ginian tapi dengan konsep tribal lagi.”
Tentu saja, tattoo sebesar itu mau dimodifikasi seperti apalagi kalo dengan konsep yang sama. Andai tattoo sebelumnya jauh lebih kecil tentunya masih bisa diusahakan dengan ukuran diperlebar, tapi seluruh kulit belikat itu telah penuh oleh goresan hitam tebal harmonis. Memang apa yang bisa dilakukan oleh tribal lagi untuk menutupinya.
“Kenapa nggak potret atau yang lainnya?” tanyaku.
“Dia bilang nggak pengen potret dan nggak mau warna. Malah dia bilang bikinin gaya gaya samoan atau polinesian aja.”
“Segede gitu lagi?”
“Kiri kanan boleh, asal jangang fullback aja.”
Aku mengacak acak folder konsepku, mencari konsep yang saat ini terpikir olehku. Seperti salah satu syaratnya, polinesian konsep. Simple, cukup besar dan tanpa warna tentu saja.
Aku menyerahkan selembar kertas bergambar konsep pada pria murung dihadapanku ini.
Pria itu mengernyit. “Kalo kayak gini ntar tabrakan sama gambar lama.” Keluhnya.
“Ilangin aja gambar lamanya. Gambar ini cukup lebar kesegala arah. Cukup cocok kalo kata gua. Tinta putih di kulitnya nggak bakalan kentara, anggap aja black and grey, yang penting nggak berwarna kan?”
“Tapi mintanya satu warna.”
“Lu pede nggak sih jadi artis tattoo, Ka. Bilang aja lu bakal kasih yang terbaik buat dia, suruh dia percaya sama lu atau cari aja artis yang lain yang pastinya bakalan punya ide sama kayak lu, alias kayak gua.”
“Hmmh!” gumamnya.
“Lagian tuh orang bego, Tattoo bagus gitu mo diilangin.”
“Kata dia gambarnya ngebosenin.”
“Menurut gua nggak tuh, tattoo dia punya makna lebih dalem dari sekedar gambarnya, cewek itu Cuma ngerti trend aja sih, nggak mau ngulik sejarahnya. Besok saat lu tattoo dia, lu jelasin deh, gambar barunya itu ngandung symbol yang diambil dari orang orang polinesia tentang kepercayaan mereka sama agama mereka, keyakinan akan ketuhanan dan kepatuhan pada tuhannya itu. Sementara tattoo lamanya. Adalah lambang cewek suci Samoa. Nggak pantes sama sekali di bilang ngebosenin.”
Pria itu tersenyum tipis syarat ejekan.
“Kenapa? Lu sendiri harusnya bisa ngemaknainya. Ngemaknai diri dan aspek dalam profesi pilhan lu.” Kataku lagi.
Makna memang hal yang terlupakan pada saat ini. Segala sesuatunya, kini hampir hanya dinilai dari penampilannya, caranya terlihat. Pantas atau tidaknya, benar atau tidaknya kini benar benar ditentukan oleh kesan dimata. Alasan, nilai moral pelaku, pemicu, atau pendorong kalah telak oleh nilai pandangan. Seperti aku dan kamu yang selamanya akan selalu terlihat tak pantas. Bahkan dimatamu sekali pun.
Aku sendiri menganggap hal itu sama saja, kamu tak sedikit pun bernilai tinggi bila bersamaku, apalagi aku jika bersamamu. Tak peduli seberapa banyaknya orang yang datang dan mengatakan mereka membutuhkan bantuanku, kamu pasti tak akan jadi salah satu dari mereka, dan itu artinya aku tak berharga bagimu, malah mungkin tak berguna. Padahal seharusnya, pantas itu berarti bermanfaat, sebagai pemicu, pendorong atau sekedar hanya pendukung.
Maka aku hanya bisa menjalani sisa maknaku sebagai pengharap perubahanmu.
“Gua manut.” Katanya, “Sayang banget deh gua sama lu, yang! Nggak ada argue gua yang bisa ngalahin lu. Selalu.” Lanjutnya. “Cuma lu yang nggak bisa gua kalahin.”
“Bullshit.” Dengusku, “Bukannya lu takut setengah mati sama cewek lu.”
Dia tersenyum, “Ya, gua emang takut sama dia. Gua takut kehilangan dia karena gua yang pengen dia hilang.”
“Maksud lu?”
“Gua lebih takut sama lu.”
Aku mengerling malas padanya. tak ada alasan untuk percaya kata katanya.
"Serius, yang." katanya lagi, “Gua takut pengen milikin lu karena lu terlalu berharga buat nggak dimilikin, sementara lu nggak pernah pengen seutuhnya gua milikin.”
Dia tersenyum datar. Penuh makna. Yang tak pernah ku tahu ada selama ini. Makna yang mengandung alasan, pemicu, sekaligus pendorong penyesalanku.
Aku masih memikirkanmu yang mungkin masih belum mengingatku. Penghargaan yang terlihat sama sekali tak berharga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar